Satu

107 16 1
                                    

Jam analog yang dipasang pada tembok di seberang tulisan besar nama perusahaan masih menunjukkan pukul delapan lebih dua puluh dua, ketika Rara membuka pintu kaca ruangan itu. Nampak beberapa kubikel dengan kursi yang masih kosong di dalamnya. Meja Rara adalah kubikel kedua dari sebelah kiri, ujung sebelah kiri, dengan kursi yang membelakangi pintu masuk.

Selepas melepas jaket, menyimpan tas, serta menyalakan layar monitor yang lebarnya hampir serentangan tangan orang dewasa; Rara beranjak menuju pantry untuk melakukan ritual paginya.

Sebetulnya Rara bukan pecinta kopi, tapi aromanya yang bikin candu membuat gadis kelahiran dua puluh lima tahun silam itu jadi memiliki kebiasaan untuk membuatnya setiap pagi sebelum memulai pekerjaan. Menghidu aroma kopi saat coffee maker sedang memproses sambil memeriksa email masuk, semacam morning therapy baginya.

Rara menyalakan MacBook dan menarik sebuah stool chair, lalu mengecek overview report yang dikirim otomatis ke email. Tidak lama berselang, kopinya sudah jadi.

Ada suara berisik dari luar pantry, tapi sikap masa bodoh dan tidak mau tahu urusan orang lain membuat Rara tidak menggubrisnya, hingga dalam hitungan detik entah bagaimana tubuh Rara terdorong hingga gelas berisi kopi panas di tangannya terpental dan membentur lantai hingga pecah. Cipratan dari cairan pekat itu mengenai jari dan ujung tunik putih yang dikenakan Rara.

"Maaf, Mbak Rara. Lala tidak sengaja!" Suara panik itu melengking bersamaan dengan suara jatuhnya sebuah ponsel. Rara mundur dan membalikkan badan. Tampak wajah pucat dan penuh rasa bersalah di hadapannya.

"Lain kali hati-hati," ucap Rara datar seraya beranjak untuk mengambil sapu dan pengki untuk membersihkan pecahan gelas, supaya serpihannya tidak melukai pengunjung pantry yang lain.

"Biar Lala yang bersihkan!" Gadis itu menghalangi langkah Rara, bermaksud untuk bertanggung jawab atas kekacauan yang telah diperbuatnya.

Meski sempat menolak, akhirnya Rara mengiyakan. Sebaiknya ia membersihkan diri dan memeriksa jari yang terkena cipratan yang mulai terasa. Perih dan sensasi terbakar di jarinya perlahan hilang setelah didinginkan dengan air mengalir setelah beberapa menit.

Saat hendak berbalik meninggalkan toilet, Rara terpaku melihat warna merah di ujung lengan tunik putihnya lewat pantulan cermin di depan wastafel.

Darah?

Gadis berperawakan tinggi itu tidak sadar jika ada pecahan gelas yang mengenai pergelangan tangannya tadi.

Pertanda apa ini? Rara membatin. Tidak biasanya ia berangkat kerja menggunakan tunik putih dan mendapat peristiwa tidak terduga di pagi hari. Meski tidak memercayai mitos, ia merapal doa dalam hati semoga tidak ada peristiwa buruk yang menimpanya dan keluarga.

***

Rara sedang mengecek kembali troubleshoot bugs yang tadi diperbaiki, ketika Lala tahu-tahu sudah berdiri di samping kursinya. Gadis itu berdehem, ketika Rara tidak merespon kehadirannya.

"Em ... lukanya gimana, Mbak?" tanya Lala, takut-takut. Rasa bersalah masih menyelimuti wajahnya.

"Sudah baikan, nggak apa-apa." Rara bermaksud menenangkan, tapi suaranya terdengar lugas.

"Sekali lagi Lala minta maaf," ucapnya. "Em ... Mbak udah mau makan siang?"

Rara mengangkat wajah dari layar MacBook di depannya, lalu menggeleng. "Nanti. Duluan aja," jawabnya kemudian.

Lala kembali berdehem. "Tadi Lala pesan makan siang seperti yang biasa Mbak Rara pesan sama OB di kantin bawah." Gadis itu terdiam sejenak lalu menggigit bibirnya, seperti menyadari jika sudah salah berbicara. "Em ... maksudnya ini buat Mbak Rara."

JEJAKWhere stories live. Discover now