Tiga

37 5 1
                                    

Begitu turun di stasiun, Rara sudah disambut oleh hujan. Ia memesan taksi online, karena terlalu malam untuk pulang hujan-hujanan menggunakan ojek online. Sebetulnya Rara sesekali membawa motor untuk diparkir di stasiun. Namun kali ini tidak, karena motor masih dipakai bergantian dengan Ibu.

Sopir taksi berbelok ke arah jalan Jendral Sudirman karena melihat warna merah panjang pada maps ke arah jalan Jalak Harupat. "Kayaknya ada kecelakaan daerah situ, Mbak. Dari tadi macetnya belum terurai. Ditambah hujan, jadi macetnya tambah parah," jelas sopir dari balik kemudi.

Rara hanya mengangguk dan menyetujui rute yang ditawarkan, meski harus memutar dari jalan biasanya.

Jam analog pada layar ponsel menunjukkan pukul 10:55 begitu Rara turun dari mobil. Rumahnya sudah sepi, meski memang biasanya juga sepi. Ibu sepertinya sudah tidur. Tadi Rara sudah mengabarkan jika akan pulang terlambat.

Jika ada yang bilang bahwa seorang ibu bisa lebih garang daripada singa kepada anaknya, Rara sepakat. Dulu saat masih SMA dan Rara lupa meminta izin untuk pulang terlambat, ibu sama sekali tidak membiarkannya masuk ke dalam rumah. Rara berusaha  menjelaskan alasannya, tapi ibu tidak peduli. Padahal hanya telat lima belas menit. Rara pikir hal itu masih bisa ditolerir.

Sayangnya, ibu tidak berpikir demikian. Baginya, jam malam di rumah itu tetap pukul 9 malam sesuai perjanjian. Dan atas kesepakatan bersama pula, Rara tidak diizinkan tidur di rumah jika melanggarnya. Beruntung waktu itu ada nenek yang diam-diam membukakan pintu, hingga Rara tidak perlu tidur di luar.

Peraturan itu tetap berlaku hingga Rara lulus kuliah, hanya dilonggarkan menjadi pukul 10 malam. Walaupun dalam keadaan sangat terpaksa pulang melewati jam malam atau menginap, perizinannya tidaklah mudah. Setelah bekerja, Ibu mengizinkan Rara lembur, meski dengan sederet syarat.

Sebetulnya dari awal pun Ibu tidak setuju jika Rara harus lembur. Namun, Rara terus meyakinkan jika ia bisa menjaga diri dan berjanji untuk sampai di rumah tidak melebihi pukul 11 malam.

Kamar ibu sudah gelap. Sepertinya Ibu memang sudah tidur. Namun, Rara tetap akan menemuinya begitu sampai di rumah. Rara hanya ingin memastikan jika ibu baik-baik saja, sambil memberikan kecupan selamat malam.

Ponsel Rara berbunyi, ketika ia baru merebahkan tubuhnya kurang dari dua jam lalu. Rara menguap lebar sambil tangannya sibuk mencari asal suara. Ia tidak siap diganggu dengan telepon di tengah malam hingga memilih untuk tidak mengangkatnya. Setelah berhasil mematikan ponsel, ia kembali menempelkan kepala di atas bantal. 

Beberapa menit kemudian ada suara dari luar kamar. Rara masih setengah tersadar saat Ibu masuk dengan buru-buru ke kamarnya, dengan raut wajah yang bingung bercampur panik sambil memegangi sebuah ponsel.

"Ra, barusan ada telepon dari polisi!"

Polisi?

Kepala Rara masih terasa berat ketika ia memaksakan diri membuka mata. "Polisinya bilang apa, Bu?"

"Kakakmu kecelakaan!" Suara ibu bergetar.

"Mungkin penipuan. Minta ditransfer uang." Rara kembali menguap sambil berusaha duduk menegakkan kepala. "Nggak usah diladenin. Ibu belum transfer apa-apa, kan?"

"Bukan penipuan. Ini polisi sungguhan. Dia nggak minta uang." Kini suara ibu bercampur isakan. "Katanya kakakmu jatuh. Jatuh, Ra. Jatuh dari atas pagar pembatas dan kepalanya …." Ibu menggantung kalimat karena tidak tahan.

Rara tertegun. Kantuknya seketika hilang. "Ibu duduk tenangkan diri dulu, ya. Rara mau cek dulu nomor Kak Arlan. Tadi malam masih teleponan sama Rara." Ia buru-buru menyalakan kembali ponselnya.

"Barusan ibu sudah coba. Nomor Arlan tidak bisa dihubungi."

Setelah ponselnya berhasil dinyalakan, Rara segera menekan nomor kakaknya. Namun, seperti kata Ibu jika nomor itu tidak aktif.

JEJAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang