Tujuh

21 9 0
                                    

"Ra, antar Ibu menemui kakakmu dulu," pinta Ibu setelah semua urusan administrasi diselesaikan.

"Apakah memungkinkan jika kita coba bujuk Tante Viona, supaya Om Mahendra mau melanjutkan penyelidikan?"

"Untuk apa? Ibu tidak mau berdebat lagi. Lagi pula, kakakmu memang sebaiknya segera dimakamkan."

Rara ingin menjelaskan lebih detail, tapi urung. Ada baiknya jika Ibu menganggap Arlan meninggal karena kecelakaan supaya tidak menambah beban pikiran, meski Rara bertekad untuk mengusutnya sampai tuntas walau harus melakukannya sendirian.

Rara tidak lagi membantah. Setelah diputuskan bahwa penyelidikan tidak akan dilanjutkan, rumah sakit langsung melakukan pemulasaraan jenazah. Mungkin saat ini prosesnya sudah hampir selesai. Rara tidak bisa lagi membalikkan keadaan.

Matahari sudah mulai meninggi. Aktivitas di rumah sakit pun sudah mulai ramai, saat jenazah Arlan selesai dipulasarai.

Pak Mahendra sudah berangkat lebih dulu ke kantornya bersama asisten pribadi, sementara Ibu Viona, ibu tiri Arlan, menunggu bersama seorang asisten rumah tangga. Ketika Rara dan Ibu sampai di tempat pemulasaraan, Rara melihat Ibu Viona sedang berbincang dengan dokter Barra. Dari interaksi mereka, Rara menyimpulkan bahwa keduanya sudah pernah bertemu sebelumnya. Obrolan di antara keduanya terkesan santai, tidak seperti obrolan orang yang baru saja bertemu.

Menyadari kehadiran keduanya, Barra yang sudah berganti pakaian itu langsung pamit undur diri.

Ibu diajak masuk oleh Ibu Viona, sementara Rara mengikuti dari belakang. Sesampainya di dalam, Ibu terlihat lebih tegar dan sudah bisa merelakan kepergian Arlan. Melihat ada peluang untuk berbicara dengan polisi yang masih berjaga, Rara tidak menyiakan kesempatan.

"Apa barang-barang kakak saya sudah dikembalikan kepada orang tuanya?"

"Sudah kami siapkan dan akan diserahkan bersamaan dengan jenazahnya saat dibawa."

"Apa saja isinya, Pak?"

Sejenak polisi itu mengerutkan dahinya, sambil menilai apakah pertanyaan itu serius atau hanya iseng saja dilontarkan. "Ada pakaian," jawabnya kemudian. "Jam tangan, dompet, sepatu, dan ponsel."

"Kalau barang temuan lainnya?" Rara mengejar.

"Seperti apa maksud Mbak?"

"Rambut orang lain yang ditemukan pada tubuh jenazah," terang Rara akhirnya.

"Oh kalau itu masih disimpan tim dokter forensik. Nantinya akan disimpan di tempat penyimpanan barang bukti, karena suatu saat bisa saja diperlukan."

Rara mengganguk. Ia sudah paham alurnya sekarang, lalu pamit untuk bergabung kembali dengan ibunya.

Mang Ata dan Bi Nuri sudah pulang lebih dulu, sebelum jam tujuh tadi. Tari, anak mereka, masih harus dipersiapkan keperluannya untuk berangkat ke sekolah. Gelagat Mang Ata juga agak mencurigakan ketika tahu ayahnya Arlan akan datang. Buru-buru Mang Ata mengajak Bi Nuri tadi pulang dengan mobil yang biasa dipakainya untuk mengangkut sayuran ke pasar. Jadi Rara yang membonceng Ibu pulang ke rumah.

Rara sudah menghubungi HRD dan Bu Monik untuk pengajuan cuti. Selama masa cutinya itu ia berjanji akan menemani Ibu, setelah urusannya selesai.

Selepas tiba di rumah, Rara segera mandi serta berganti pakaian, lalu pamit jika ada keperluan yang harus segera diurusnya. Ibu tidak banyak bertanya. Sepertinya ia masih lelah dan hari ini akan banyak menghabiskan waktunya di kamar. Rara hanya perlu meminta tolong kepada Bi Nuri untuk sesekali melihat Ibu di kamar, kalau-kalau sedang butuh sesuatu.

Rara tidak mau menunda kesempatan. Ia langsung melajukan motornya menuju perumahan yang yang pernah disebutkan oleh kakaknya. Rara yakin polisi belum sempat datang ke tempat itu, karena kasusnya sudah keburu ditutup.

Perumahan itu memang persis seperti yang digambarkan oleh Arlan dalam percakapan mereka di malam sebelum kejadian. Rara juga tidak sukar untuk mengenali rumah yang sudah Arlan persiapan untuk hadiah Ibu.

Rara berbalik dan kembali ke pos depan untuk menemui security.

"Semalam teman saya yang berjaga," jawab petugas itu ketika ditanya siapa yang berjaga tadi malam sekitar pukul tujuh.

"Apa ada rekaman CCTV-nya? Maksud saya, saya hanya ingin tahu tadi malam kakak saya ke sini dengan siapa."

Petugas itu sempat ragu sejenak. Setelah Rara menjelaskan semuanya, barulah petugas itu mau mengerti dan segera menghubungi komandannya untuk meminta arahan.

"Teman saya tidak bisa ke sini, Mbak. Tapi katanya semalam di jam tujuhan ada Mas Yudi, marketing perumahan, bersama seseorang yang mirip dengan orang yang Mbak sebutkan tadi ciri-cirinya, untuk melihat salah satu unit rumah kami." Petugas itu menjelaskan setelah menelepon temannya.

"Apa saya boleh meminta nomor Mas Yudi?"

"Boleh, Mbak. Sebentar saya catatkan."

Saat petugas itu selesai mencatat nomor telepon, dari dalam Rara melihat Barra masuk melewati pos jaga karena harus menurunkan kaca jendela mobilnya.

Rara segera berterima kasih dan pamit pada petugas tersebut, lalu diam-diam mengekori mobil yang dikendarai Barra.

Mobil Barra melewati rumah yang semalam Arlan videokan, lalu beranjak terus sampai ke bundaran kecil yang berada di taman belakang. Begitu mobil Barra berputar arah, Rara sudah bersiap untuk menghadang Barra di depan rumah tersebut.

Barra membunyikan klakson karena Rara tiba-tiba menghentikan motornya di jalur kanan, sehingga mobil dan motor mereka kini berhadapan.

"Apa yang kamu lakukan?" Barra menurunkan kaca jendelanya dan melonggokan kepala keluar. "Kamu tahu kalau itu berbahaya?"

"Seharusnya saya yang tanya, apa yang dokter lakukan di sini?"

Barra tersenyum sambil mengangkat kedua tangannya dari atas setir. Tidak lama kemudian, ia keluar dari mobil.

"Apa ada peraturannya kalau aku nggak boleh ke sini?"

Rara merasa senyuman Barra seperti sedang mengejeknya.

"Dokter tinggal di sini? Atau punya kenalan yang tinggal di sini?" Rara mulai mendesak dengan pertanyaan lain.

"Tidak. Hanya sedang melihat-lihat. Rumahku nggak jauh dari sini."

"Melihat-lihat untuk berjalan-jalan atau melihat-lihat untuk menyelidiki?" selidiknya.

Barra mengembuskan napasnya agak panjang. "Mungkin kita bisa menepi dan bicara baik-baik."

Rara tidak protes, karena lalu lintas di jalan yang hanya bisa dilalui oleh dua mobil itu bisa terhambat karena mereka berhenti tanpa menepikan kendaraan.

Tanpa mengikuti saran Barra untuk menepikan motor, Rara malah memakai kembali helmnya lalu menaiki motor. "Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi secara baik-baik." Kali ini suaranya terdengar lebih ketus.

"Setidaknya kita bisa bekerja sama."

"Bekerja sama? Bekerja sama untuk apa?" Rara meringis dan memeprlihatkan sikap tidak peduli. "Lagi pula kita belum tentu berada di tim yang sama."

"Apa maksudnya?" Barra mencoba mengejar jawaban.

Sebaliknya, Rara merasa tidak perlu menjelaskan. Tanpa menoleh lagi, ia langsung menyalakan motornya. "Sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi."

Rara tidak mau berurusan dengan Barra lagi, karena merasa bahwa Barra ada di pihak Tante Viona.

Bagaimana kalau Kak Arlan hanya dijadikan tumbal untuk memenuhi keinginan Tante Viona? Rara bergidik ngeri atas pikiriannya sendiri

Motor Rara melaju begitu saja, meninggalkan Barra yang menatapnya sambil terheran-heran. Sebuah senyum kemudian muncul di bibirnya.

== Bersambung ==

JEJAKWhere stories live. Discover now