Enam

21 4 0
                                    

Menjelang pukul delapan pagi, beberapa wartawan terlihat berdatangan dan menunggu di depan Gedung Kedokteran Forensik. Beberapa di antaranya nekat mewawancarai polisi yang sedang berjaga, tapi ditolak dan malahan diusir.

Rasa penasaran membuat Rara bertanya kepada petugas polisi yang sudah berganti sif di depan ruang otopsi, apakah akan ada konferensi pers hingga banyak wartawan yang datang. Sayangnya, polisi itu tidak bisa menjawab banyak. Saking penasarannya, Rara bertanya kepada salah seorang wartawan yang sedang bersandar pada tiang koridor sambil memainkan ponselnya.

"Oh bukan konferensi pers, Mbak," jawab wartawan berbaju hitam itu santai. "Kami mau mendengar pernyataan Pak Mahendra atas kasus meninggal putra sulungnya. Beberapa teman wartawan sudah berkumpul di depan rumahnya dari subuh tadi, sejak kabar itu tersiar. Sebagiannya lagi memilih untuk menunggu di sini."

"Apa beliau sudah memberikan pernyataan?"

"Makanya kami ke sini, Mbak." Ia tersenyum sambil membetulkan letak kaca matanya. "Kami mau menanyakan beberapa pertanyaan secara langsung. Polisi yang berdiri di sana kurang kooperatif, katanya tunggu saja pernyataan resminya dari Tim Humas," jelasnya sambil menoleh ke arah petugas yang sedang berjaga.

"Kalau boleh saya tahu, apa Mbak masih memiliki hubungan kerabat dengan Pak Mahendra?" tanya balik wartawan itu

"Hm ... Em, tidak. Saya tidak ada hubungan apa-apa dengan beliau." Rara segera pamit sebelum wartawan itu menyadari sesuatu dan mengejarnya.

Rara maklum kenapa banyak wartawan yang penasaran. Nama Pak Mahendra memang sedang sering muncul akhir-akhir ini dalam pemberitaan. Beliau pernah diundang ke beberapa stasiun televisi dan mendapat banyak apresiasi atas keberaniannya bersuara lantang dan bersikap tegas pada rapat bersama DPR, saat membahas sebuah kebijakan.

Ayah Arlan baru dipromosikan sebagai pejabat eselon 2 di salah satu kementerian dua bulan lalu. Wajar jika kabar kematian putranya jadi sorotan dan pemberitaan di mana-mana, meski isi pemberitaannya tidaklah seratus persen benar.

Dari arah taman, Rara melihat ada sebuah iring-iringan yang beranjak mendekat. Pak Mahendra terlihat di antaranya, dengan seorang petugas, seperti asisten pribadi, yang berusaha membuka jalan dari serbuan wartawan yang mengikuti atasannya itu. Beberapa wartawan yang tadi menunggu di depan ruang otopsi pun ikut merapat.

"Sudah saya katakan dari tadi; kematian anak saya jangan sampai dipolitisasi!" tegas Pak Mahendra, menjawab pertanyaan yang beragam, silih berganti.

Wartawan lain mengajukan pertanyaan yang lain.

"Apa Anda tidak dengar? Jangan dipolitisasi! Jangan dihubung-hubungkan!" Laki-laki bersetelan jas hitam itu kembali menegaskan.

"Jadi, putra Bapak benar bunuh diri karena kasus korupsi di perusahaan tempatnya bekerja?"

Pak Mahendra menghentikan langkah. "Anda jangan memyebarkan fitnah!" Ia menunjuk wartawan yang tadi bertanya. "Saya akan menuntut media mana saja yang berani menyebarkan rumor dan fitnah tentang putra saya. Tidak akan saya ampuni. Akan saya bawa ke pengadilan!"

Beberapa wartawan mulai terlihat menciut. Sebagian dari mereka memilih untuk tidak melanjutkan pengejaran, tapi sebagian lainnya masih berusaha membuntuti.

Saat tiba di depan ruang otopsi, polisi membubarkan wartawan dengan paksa.

***

"Bu Tyas, Anda bisa ikut saya ke ruangan dokter? Ada yang akan dibicarakan bersama Pak Mahendra." Seorang petugas polisi masuk ke kamar ibunya Rara.

"Saya ikut ya, Pak. Mendampingi ibu saya."

Polisi itu nampak berpikir. "Baik, tapi hanya mendampingi Ibu Anda."

"Baik, Pak," jawab Rara seraya membantu Ibu untuk bangun dari tempat tidur dan memeriksa selang inpusnya.

"Hentikan saja visum et repertum-nya. Tidak perlu diotopsi atau dibedah. Nyatakan sebagai kecelakaan, supaya media tidak lagi gaduh." Pak Mahendra langsung bersuara, setelah diskusi itu dibuka.

"Tapi resikonya adalah penyebab sebenarnya dari kematian putra Bapak tidak akan diketahui." Seorang polisi mencoba menjelaskan.

"Untuk apa? Toh orang yang sudah mati tidak bisa hidup kembali. Biarkan putra saya beristirahat dengan tenang. Buat saja pernyataan resmi dari pihak kepolisian dan rumah sakit jika putra saya meninggal karena kecelakaan. Seperti kata dokter tadi, pembuluh darah di otaknya pecah."

Rara sudah bersiap bangkit untuk protes, tapi Ibu menahannya. Ibu menenangkan Rara dengan mengusap tangannya.

"Tahan," perintah Ibu tanpa suara.

"Ya, kami bisa memberikan hasil visum atas pemeriksaan luar." Dokter Rizal angkat suara.

"Bukan hanya hasil, tapi juga kesimpulan bahwa Arlan meninggal karena murni kecelakaan."

"Mungkin bagian itu bisa dijelaskan oleh pihak humas kepolisian setempat. Kami hanya akan memberitahukan analisa sesuai visumnya."

Ketegangan mulai terasa.

"Baik," jawab seorang polisi berseragam untuk menengahi. "Kami akan berusaha memberikan keterangan yang bisa meredam banyak rumor yang sudah beredar di masyarakat."

Ponsel Pak Mahendra bergetar. Ia mengangkatnya sekilas, lalu memberikan sebuah instruksi kepada asistennya. "Ajak Ibu masuk!"

Tidak berapa lama, wanita dengan sanggul rapi dan berabaya hitam masuk ke dalam ruangan.

Wanita itu menghampiri ibu Rara lalu memeluknya. "Yang sabar ya, Mbak," lirihnya kemudian. Setelah membersihkan sisa air mata dengan sapu tangan, ia duduk di kursi yang sudah disediakan di samping Pak Mahendra.

"Maaf jika saya memotong diskusinya," tukasnya dengan anggun sambil mengangguk ke arah dua orang polisi dan dokter Rizal di hadapannya.

"Polisi dan dokter sudah setuju kalau pemeriksaannya dihentikan." Pak Mahendra menjelaskan kepada istrinya, dengan intonasi yang lebih tenang.

"Jadi Arlan sudah bisa dibawa pulang? Syukur alhamdulillah," ujarnya sambil kembali menghapus air mata. "Jadi Arlan akan dimakamkan di pemakaman keluarga, kan?" Wanita itu meminta kepastian.

"Bagaimana kalau Arlan dimakamkan di Bogor saja? Biar tidak terlalu jauh dari sini." Ibu Rara memberi saran.

"Arlan sudah lama tidak tinggal di Bogor. Di mata hukum dia adalah anak kami dan telah menjadi tanggung jawab kami selama ini, jadi kamilah yang berhak memutuskan di mana Arlan akan dimakamkkan."

"Tapi jangan lupa bahwa ibu sayalah yang menjadi ibu kandungnya!" protes Rara, merasa sudah tidak tahan lagi.

Ibu menarik tangan Rara dengan keras.

Pak Mahendra menoleh ke arah Rara. "Kalian ikut membiayai Arlan selama ini?"

Rara hendak kembali membalas, tapi Ibu menahan Rara dengan mati-matian. Sabar. Sabar. Begitu bahasa isyarat dari mata Ibu.

"Jika tidak ada yang akan dibahas lagi, saya mau permisi dan berangkat ke kantor. Ada rapat dengan Pak Menteri nanti siang." Pak Mahendra berdiri. Kedua polisi dan dokter Rizal ikut berdiri. Mereka bersalaman.

Ibu dan Rara ikut berdiri, tapi mereka hanya saling mengangguk sebagai isyarat untuk saling berpamitan, tanpa berkata apa-apa lagi.

"Kenapa Ibu jadi melankolis begitu jika bertemu dengan ayah Kak Arlan?" tanya Rara dengan protes, ketika mereka kembali ke ruang perawatan untuk berpamitan pulang dan mengurus administrasinya.

"Ibu hanya mengalah, supaya tidak terjadi perdebatan panjang. Jangan lupakan kebaikan mereka, walau sejahat dan sekasar apapun perlakuan mereka terhadap kita."

"Itu tidak fair, karena akan membuat mereka lebih semena-mena lagi terhadap kita."

"Tidak ada perbuatan yang sia-sia, Ra. Kebaikan yang kita lakukan akan kembali kepada diri kita sendiri. Begitu pun sebaliknya, perbuatan jahat akan kembali kepada yang melakukannya."

Rara hanya mengembuskan napas dengan agak jengkel. Tak lama kemudian, sebuah panggilan telepon masuk.

"Mbak Rara nggak masuk kantor hari ini?" tanya Lala dari seberang dengan suara khasnya.

Rara menepuk dahi, karena lupa mengurus izin cutinya.

== Bersambung ==

JEJAKWhere stories live. Discover now