Sembilan

49 11 1
                                    

Sebuah tepukan Rara layangkan di atas pipinya, demi meyakinkan diri jika ia tidak sedang bermimpi.

Kenapa dia ada di sini?

"Eh maaf, aku kira nggak ada orang." Barra buru-buru menutup kembali pintu kamar.

Rara segera merapikan dirinya, lalu bergegas keluar untuk mengejar Barra. Namun, Barra tidak ditemukan di lantai atas sehingga Rara nekat menuruni tangga dan menyeberangi ruang utama.  Beberapa tamu, atau mungkin keluarga, sudah ada yang hadir, tapi Rara tidak peduli.

Setelah mencari di beberapa ruangan, akhirnya Rara menemukan Barra di taman belakang. Tempat yang lebih sepi dari ruangan lainnya di rumah itu.

"Kenapa harus bertemu lagi di sini?"

Barra menoleh. "Ya. Sebuah kebetulan, bukan?" Ia kembali tersenyum sambil mengangkat kedua bahunya. Rara benci senyum itu, seperti senyum mengejek.

"Kalau kata Ibu tidak ada sesuatu yang kebetulan di dunia ini. Kamu juga pernah bilang begitu, bukan?"

"Jadi kamu mau bilang kalau kita berjodoh?" Barra mencoba berkelakar, tapi sayangnya Rara sedang tidak ingin menanggapi.

"Jadi, kenapa bisa ada di sini?"

"Kenapa aku nggak boleh ada di sini?"

Rara mengembuskan kembali napas panjang. "Baik, saya tidak akan peduli kenapa kamu ada di sini."

"Karena aku keponakannya Tante Viona." Barra menjawab ketika Rara sudah berniat membalikkan badannya.

Sebuah informasi yang cukup mencengangkan bagi Rara, hingga gadis itu bertepuk tangan dengan dramatis sekaligus sinis.

"Jadi kalian sudah saling mengenal? Maksud saya dengan Kak Arlan."

Barra diam sejenak sebelum menjawab. "Ya. Kami dulu pernah akrab."

"Tapi Kak Arlan tidak pernah cerita. Artinya kamu tidak dianggap sebagai orang yang penting."

"Ya, itu hak dia."

"Dan Kak Arlan memang tidak pernah salah menilai orang."

Barra kembali tersenyum sumbing. "Sebaiknya kita tidak perlu memghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk berdebat lagi. Tawaranku masih berlaku jika kamu berubah pikiran."

"Maksudnya?"

"Kita bisa bekerja sama," Barra mencondongkan tubuhnya ke arah Rara lalu melanjutkan dengan suara yang lebih pelan, "mengungkap penyebab kematian Arlan."

Sontak Rara menatap Barra. "Kamu?" Telunjuk Rara terangkat, tepat di hadapan wajah tirus laki-laki itu. "Untuk apa? Apa perintah dari Tante Viona?"

Kepala Barra menggeleng. Salah satu sudut bibirnya terangkat. "Sepertinya kamu sangat benci sekali dengan Tante Viona, padahal sekarang ini kita sedang berada di rumahnya."

"Bukan benci, tapi tidak suka saja dengan sifatnya. Saya sekarang di sini juga bukan atas kemauan sendiri, melainkan demi Ibu."

"Aku tidak perlu bilang kalau di rumah sakit kemarin kamu sempat mengutip rambut Tante Viona kan? Kamu sempat curiga kalau yang ditemui Arlan malam itu adalah ibu tirinya, kan? Lalu, kamu juga curiga kalau yang merencanakan pembunuhan adalah Tante Viona supaya semua warisan jatuh ke tangan tante dan Vira, anaknya, kan?"

Kini giliran Barra yang balas bertepuk tangan, ketika bola mata Rara membulat.

"Ternyata kamu mudah ditebak juga."

"Apa mau kamu sekarang?"

Telunjuk kanan Barra diketuk-ketukkannya ke pelipis dengan bola mata yang diarahkan ke kanan dan ke kiri, seolah-olah sedang berpikir. "Kita berdamai dan saling berbagi informasi."

Rara diam, tidak menjawab.

"Asal kamu tahu." Barra kembali memelankan suara dan menaruh tangan kanan di depan mulutnya. "Meski aku keponakannya, tapi kami nggak sedekat yang kamu bayangkan. Terkadang aku juga membencinya." Laki-laki jangkung itu kini meletakkan telunjuknya di depan mulut. "Aku janji nggak bakalan ngaduin kamu, kok," lanjutnya.

Rara melengos sebentar, lalu mengulurkan tangannya. "Siniin HP kamu!"

"Buat apa?"

"Tulis nomor HP saya, biar kamu nggak berisik terus." Rara menggerakkan tangan, supaya Barra segera mengikuti perintahnya.

Senyum Barra kini lebih lebar. Laki-laki itu merogoh sakunya dan menyerahkan ponsel sesuai permintaan Rara.

"Kodenya!" Rara mengembalikan ponsel Barra dengan kesal, yang hanya dibalas dengan sebuah cengiran.

Setelah Rara mengetik nomor dan mengembalikan ponsel milik Barra, Barra langsung menelepon nomor tersebut untuk mengecek.

Rara menunjuk layar ponselnya, saat panggilan dari Barra masuk.

"Kayaknya saudara Kak Arlan sudah banyak yang datang. Sebaiknya kita berpencar."

"Ya, siapa tahu ada yang mencurigakan," celetuk Barra. Rara langsung melotot.

Selepas Isya, pengajian yang dipimpin oleh seorang habib dimulai. Rara sengaja duduk di belakang supaya tidak terlalu mencolok. Banyak yang membantu Ibu Viona di dapur untuk menyiapkan sajian dan souvenir pengajian, hingga Rara tidak merasa perlu turut membantu.

Banyak yang menangis disela doa. Rara yakin jika tangis dari sebagian besar yang hadir itu tulus. Arlan adalah pribadi yang baik dan menyenangkan. Orang yang asing bahkan bisa langsung menyukainya pada pertemuan pertama.

Rara juga melihat kesedihan dan rasa kehilangan yang mendalam di wajah Pak Mahendra. Sangat kontras dengan wajah keras yang diperlihatkannya tadi pagi. Tante Viona? Ia juga menangis tersedu-sedu, tapi Rara tidak begitu yakin apakah itu hanya akting atau sungguhan.

Tausyiah singkat, pembacaan yasin, serta doa bersama selesai dilakukan pukul sembilan lewat. Mumpung orang tua Arlan sedang dikerumuni saudara dan tamu untuk bersalaman, Rara segera menyelinap keluar. Ia hanya pamit pada salah seorang asisten rumah tangga yang ia kenal di rumah itu.

"Mau pulang bareng? Rumah kamu di Bogor kan? Kita searah."

Rara menoleh. Ternyata Barra sedang berjalan di belakangnya.

"Mobilku diparkir di sana." Barra menunjuk sebuah mobil merah yang diparkir agak jauh dari pintu gerbang.

"Pulang naik mobil berdua? Dari Jakarta sampai Bogor?" Rara menaikkan bola matanya. "Tidak. Terima kasih."

"Kamu takut aku apa-apain?" Barra terkekeh-kekeh geli.

"Lebih tepatnya, saya masih sayang sama nyawa sendiri. Siapa tahu kamu itu sebenarnya psikopat yang menyalurkan hobinya lewat profesi sekarang, kan!"

"Jika rekan sejawatku dengar, mungkin mereka akan tersinggung. Kamu mengaitkan profesi orang dengan perbuatan tidak terpuji."

"Saya tidak sedang membicarakan orang lain, tapi kamu."

Barra ikut menghentikan langkahmya saat Rara berhenti di bawah salah satu lampu jalan. Gadis itu hendak memesan taksi online.

"Biar aku yang antar ke stasiun. Kan sama-sama berduaan juga di dalam mobilnya."

Rara mendelik. Ada benarnya juga omongan Arlan. Namun, Rara sedang gengsi.

"Taksi online-nya sudah dapat." Rara menunjukkan layar ponselnya.

"Oke, kalau gitu aku temani sampai mobilnya datang. Jangan salah sangka, ya. Aku cuma anggap kamu sebagai adik, kok. Adiknya Arlan adalah adik aku juga."

"Tapi saya nggak mau punya kakak macam kamu."

"Terserah kamu sih kalau itu." Barra kembali mengedikkan bahu.

Lima menit berlalu. Mobil yang dipesan Rara masih belum datang. Rara jadi gelisah, karena sebetulnya risi dengan Barra yang ikut menunggu sambil memainkan ponsel. Tiga menit kemudian, sebuah mobil berwarna abu metalik menepi. Rara mencocokkan plat nomor mobilnya sebelum naik.

"Terima kasih sudah nemenin walau nggak diminta," ujar Rara setelah menurunkan kaca jendela bagian belakang. "Saya duluan. Assalamualaikum."

Barra menjawab salam, lalu berpesan kepada sopir, "Hati-hati, ya, Pak. Jangan ngebut. Titip adik saya."

Di belakang, Rara mengulum senyum.

== Bersambung ==

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 25, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

JEJAKWhere stories live. Discover now