20| Vanilla and Jasmine

29 14 3
                                    

Klinik Kesehatan Jiwa Nirvana menyambut kepulangan tuannya.

Julian melenggang lega setelah mendengar bahwa Dokter Besar sudah meninggalkan klinik setelah melanjutkan konseling yang ditinggalnya.

Ethan menengok jam dinding. Jam tiga sore. Hampir jadwal pasien selanjutnya. Ethan menanyakan kedatangan pasiennya pada resepsionis.

“Belum, Dok. Mau saya coba hubungi walinya?”

“Iya, tolong dipastikan,” sahut Ethan, “Saya di ruangan. Untuk sekarang jadwal saya diisi pasien Nicole dulu.”

●●●

Setengah jam berlalu. Tidak ada yang janggal dari konseling tertunda itu, kecuali fakta Nicole telah menyabotase jadwal pasien lain.

“Yv memang se-annoying itu,” tukas Nicole, “Setelah menceritakannya, perasaanku jadi lebih ringan.”

“Senang mendengar perkembanganmu.” Ethan menutup konseling dengan sebuah senyum maklum. “Kalau begitu-”

Tok. Tok. Tok.

Ethan mengira akan melihat resepsionis di celah pintu, bukannya Julian.

“Apa aku mengganggu?”

Nicole menerangkan bahwa konselingnya baru saja selesai. Julian masuk dan menanyakan jadwal Ethan.

“Pasien kecil terlamaku. Kayaknya dia re-schedule.”

Julian menduduki sofa oneseater di tengah ruangan. Dua orang di meja letter L menunggu jawabannya.

“Beliau tidak akan datang lagi.”

Punggung Ethan menegak, tatapannya apatis. Nicole mulai menggigiti kukunya.

“Apa karena aku membajak jadwalnya seenaknya?” Nicole menyuarakan pikirannya.

Julian menggeleng. Beliau meninggal bunuh diri seminggu lalu.

“Tidak mungkin,” sangkal Ethan, “Kau pasti keliru. Terakhir dia jelas bilang sudah jarang berhalusinasi.”

“Lalu apa yang kau katakan padanya?” selidik Julian.

“Aku melonggarkan intensitas konselingnya. Kupikir bisa mulai mengurangi ketergantungannya padaku. Sejak itu dia datang sekitar sekali sebulan.”

Si psikiater menepuk jidatnya. Ya, Tuhan. Apa aku sudah membiarkannya berjuang sendiri padahal mentalnya belum siap?

“Menurut resepsionis, kejadiannya saat keluarganya mengunjungi rumah mendiang kakeknya. Beliau izin ke toilet sebelum ditemukan tak bernyawa di kamar kakeknya,” papar Julian.

Ethan menelungkupkan wajah di meja. “Dia pasti membayangkan kakeknya lagi. ‘Kakek mengajakku pergi’. Dia sering bilang begitu. Ethan ceroboh!” katanya menggebrak meja.

“Kita tidak tahu pasti apa yang terjadi padanya, Et.”

“Aku tahu, Ju. Bocah SD itu mengira dia telah membunuh kakeknya.”

“Karena keluarganya menuduhnya?”

“Tidak. Kakeknya minta diambilkan obat dan meninggal setelah mengonsumsi obat yang dibawakannya.” Ethan melempar punggung ke sandaran kursi.

“Ini tentang pecandu yang memanfaatkan keluguan cucunya. Hari itu, pasienku memberi sebanyak yang kakeknya minta.”

Julian berusaha mengalihkan fokus. “Aku sudah mengecek postingan terakhir walinya.”

Ethan buru-buru mengetikkan nama pengguna yang sedang disebutkan Julian. Bocah yang familiar terpampang dalam monokrom dengan deskripsi pilu.

Ethan berhenti menggulir kolom komentar ketika menemukan ucapan dukacita dari akun Klinik Nirvana. Dalam keadaan syok, diketikkannya belasungkawa melalui akun pribadinya.

BorderlineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang