32| Cinderella Tanpa Sepatu Kaca

13 3 0
                                    

Uap hangat mengepul. Gemerecik air bersahutan menghantam keramik kamar mandi minimalis. Gadis berambut merah muda menghidu wangi sabun berbusa di genggamannya.

Sabun supermarket. Harganya pasti nggak sampai setengah sabun mandiku sekarang. Memangnya nggak mampu beli branded? Mengingatkanku pada hari-hari lama saja.

Yvaine mengalihkan pandangannya pada pantulan di cermin.

Rasanya sulit percaya kalau gadis cantik itu adalah aku.

●●●

Inilah diriku yang sebenarnya. Gadis lemah yang tak berdaya. Tidak punya harga diri, tidak punya ayah,  tidak punya harta.

“Kami masih butuh sedikit waktu lagi.” Seorang wanita paruh baya memelas.

“Kemarin-kemarin juga ngeles begitu!” sentak wanita yang satunya, “Kalau tidak mampu bayar bilang saja, nanti urusannya ke kantor!”

”Aku pasti bayar secepatnya. Tidak perlu dikasus.”

“Loh, tidak perlu bagaimana kalau itikad baiknya tidak kunjung ada? Kami juga ada batas toleransinya, Bu. Jangan seenaknya Anda. Dikira saya kesini main-main?!”

Remaja berkaos pias memasang tatapan nyalang, setengah menangis. “Nggak usah pakai teriak! ‘Kan Ibu udah bilang pasti bayar! Kondisinya sekarang kami belum bisa,” sengitnya dengan telunjuk menunjuk-nunjuk wajah lawan bicaranya.

“YV! Minta maaf sama tantenya.”

Yvaine memejamkan mata, terkejut akan bentakan ibunya. Memang apa yang salah dari perkataannya?

“Maaf, Tan. Tapi kami memang masih perlu waktu.” Yvaine memohon dengan lebih kalem. “Soalnya Ibu masih harus membiayai sekolah saya dan adik‒”

“YVAINE!”

Sulit mendeskripsikan ekspresi di wajah ibunya. Kemarahan, keputusasaan, dan malu bercampur di sana. Satu gelengan penuh peringatan, dua mata sayu yang memerah karena kurang tidur.

Kalau bukan demi menenangkan ibunya (dan mencegah adiknya menguping perdebatan ini), Yvaine tidak segan memarahi si rentenir kurang etika. Tetapi, saat ini posisinya bersalah. Alhasil Yvaine hanya bisa mengeraskan kepal.

“Maaf, Tante.” Dua kata itu keluar dengan kedut kencang nadi leher dan hati yang tertohok.

Yvaine benci mengakui keberadaannya merupakan penyebab ibunya harus bekerja serabutan bahkan berhutang sana-sini. Bermula ketika bisnis ayahnya bangkrut saat dia masih SMP. Orang tuanya bersikeras mempertahankan pendidikan yang terbaik untuk kedua anaknya. Pendidikan yang baik saja belum tentu bisa memperbaiki taraf hidup ‘kan?

Itu bekerja hingga ayah Yvaine meninggal karena sakit keras. Seluruh tabungan terkuras, menyisakan sedikit modal untuk sekadar bertahan selama ibunya mengusahakan segala yang dia bisa. Beliau tidak pernah menyangka keputusan meninggalkan pendidikan demi menikah akan membuatnya semenyesal ini.

Suara sok manis membuat Yvaine menahan dongkol. “Gitu, dong. Sadar posisi. Baiklah, akan kucoba minta pengunduran waktu. Nanti kukirimkan email.”

“Terima kasih banyak pengertiannya.” Si kakak mendengar ibunya merendah, “Yvaine, bilang terima kasih,” instruksinya.

Gadis itu ikut membungkuk, “Makasih, Tante.”

Dan itu bukan pertama, kedua, atau ketiga kalinya.

●●●

Maaf.

BorderlineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang