16. If I Kill You

1.4K 147 12
                                    

“Terdeteksi adanya perlawanan dari inti naga Lucian. Memang belum memasuki tahap 1, tapi kalau Lucian tetap tidak bisa mengontrol emosinya. Itu bisa berbahaya.”

“Elio, terakhir kali ada seseorang yang kalah oleh inti naganya. Draigland jatuh dalam kegelapan.”

Pandangan Rowoon tidak bisa lepas dari adiknya---Mingyu---yang sedang tertidur. 30 menit lagi ia harus memimpin pasukannya untuk pergi ke medan perang. Meski sejujurnya ia belum tidur satu detik pun. Mengantuk, tapi rasa takut membuatnya tetap terjaga sepanjang malam.

Tangannya menggenggam jemari Mingyu dengan erat. “Aku tidak tahu apakah berdoa pada Dewa Garyx akan berguna.”

Tok tok tok.

“Maaf atas kelancangan saya, Jenderal.” Tangan kanan Rowoon--+Sulivan---muncul dan sedikit membungkukkan badan. “Semua orang sudah berkumpul dan menunggu Anda.”

“Azura juga?” tanya Rowoon tanpa memandang Sulivan. Namun, nada suaranya terdengar sedikit heran.

“Maaf atas kelalaian saya, Jenderal. Beberapa saat yang lalu utusan dari istana Angin memberitahu, bahwa Duke Azura jatuh sakit dan tidak bisa mengikuti pertempuran hari ini.”

Pernyataan Sulivan membuat tubuh Rowoon menegang. Genggamannya pada tangan Mingyu mengerat. Ia memejamkan mata selama beberapa saat, mencoba menenangkan hati dan pikiran.

“Jenderal ...” Sulivan memanggil dengan ragu.

“Pendeta mengatakan kalau Lucian akan bangun tepat pukul sepuluh. Turuti semua perintahnya dengan benar. Jangan sekali pun buat dia marah.” Rowoon melepaskan tangan Mingyu dan meletakkannya dengan hati-hati. “Selama Octa dirawat, kalian harus hati-hati. Octa hanya masuk rumah sakit karena dia sahabat Lucian, tapi kalian mungkin langsung mati.”

Pelayan yang sedari tadi berdiri di sudut ruangan tersentak dan buru-buru mengangguk. “Baik, Jenderal.”

Rowoon berdiri dan berjalan menuju pintu. Sebelum benar-benar pergi, ia berkata, “Oh ya, tolong katakan pada salah satu pelayanku. Siapkan buket bunga lilac dan kirim ke istana Angin.”

***

Kita bertemu lagi, Lucian.” Seekor naga merah berdiri menjulang di hadapan Mingyu. Jika naga itu tidak menunduk, Mingyu tidak akan bisa melihat wajahnya karena tertutup awan gelap. “Kamu sudah dewasa, Lucian. Terakhir kali kita bertemu kamu baru sepuluh tahun.”

Alih-alih menyahut, Mingyu justru mengabaikan si naga dan memandang sekelilingnya. Saat ini, ia sedang berdiri atas mulut gunung aktif. Lava merah dan letupan api membara di bawah. Hanya berpijak pada sebongkah batu yang menjorok ke dalam. Salah bergerak, ia bisa langsung terjun dan hangus.

Si naga tersenyum melihat kelakuan laki-laki itu. “Aku sedikit terkejut saat melihat celah tiba-tiba muncul dan gunung ini berguncang. Sayang sekali, belum sempat aku keluar, celahnya kembali tertutup. Aku sempat mengintip dan melihat ... ah, apakah itu seorang avariel?

“Kamu berisik sekali,” umpat Mingyu, ia menarik napas panjang dan memandang naga itu malas. “Itu kenapa aku enggan bertemu si pendeta iblis. Kalau begini, yang ada aku semakin emosi.”

Dasar bocah, kamu sangat berubah. Menjadi sangat mirip dengan Putra Mahkota Kallias.”

Mingyu menguap dan mendudukkan diri dengan hati-hati. Ia menopang dagu. “Siapa itu Kallias? Aku tidak kenal.”

Naga itu terkejut mendengar jawaban Mingyu. Dahinya berkerut hingga dua alisnya menyatu. “Meski sudah ribuan tahun berlalu, bukankah seharusnya kamu tahu siapa Putra Mahkota Kallias?

[N#2] NOT PURE || Meanie Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang