- prolog -

424 35 10
                                    

Dia baik.

Dia pengertian.

Dia penyabar.

Dia adalah definisi kesempurnaan.

Benar ‘kan?



Langit yang merah terlukis di ufuk senja, bola cahaya menenggelamkan dirinya. Sosok dengan jubah cokelat itu memejamkan mata.

Bisakah ia?

Sekarang?




Meskipun dunia bilang begitu, sosok itu tidak pernah mengakui dirinya sendiri, ia menganggap semuanya adalah penebusan dirinya.

Meski dunia melupakan kesalahannya, meski semua orang sudah memaafkannya, dia mengukirnya erat, dalam jantungnya, meski semuanya sakit, ia memutuskan, ia tidak akan pernah lari dari tanggungjawabnya.

Semua orang kira dia adalah setulus kebaikan, semurni dan sejernih itu dirinya.

Andai mereka tahu, bahwa itu semua berawal dari fondasi berdarah yang ia bangun.




Zaghanos Mumtaz Pasha.


Nama yang begitu indah, seorang pahlawan yang diabadikan dalam dirinya. Justru ia membencinya, sedalam mungkin.

Ia benci kenapa nama sehebat itu harus disematkan kepadanya.

Gempa.



Ia yang selalu terikat pada memori. Tidak pernah berani melangkah, jauh tertinggal. Meski begitu, ia yang akan selalu tersenyum. Memastikan punggung-punggung saudaranya menjauh.

Ia tahu ia tidak pantas lagi.

Karena, ia yang menyeret keluarganya dalam kesalahannya. Membangun penderitaan. Dan berteriak dikala itu semua.



Semua itu, tidak pernah hilang dari dirinya.

Dibalik sosoknya yang hangat dan penyayang, terdapat dirinya yang terus menyiksa pikirannya.

Itu semua sudah terjadi, dan abadi.




Menghela nafasnya lagi, sosok itu menurunkan topi dari kepalanya. Airmatanya menitik dengan tawa yang terdengar pilu.

Ia mendengar panggilan sang Tuhan sekarang, ia tahu Tuhan Maha Penyayang, hanya saja, ia tetap memikirkan.

Jika ia tak pernah lahir.

Dan jika ia bisa mengulangi semuanya.

Karena ingatan itu begitu menyakiti dirinya.







Ini tentang Gempa, dan penyesalan.

cad

cad | gempaWhere stories live. Discover now