- halilintar -

433 47 21
                                    

Terkadang mereka yang paling buruk, ketika berubah, justru menjadi lebih baik dari siapapun”

—cad—





Pertandingan sedang seru-serunya.

Aku sedang menonton Thorn dan Aze bermain game. Game lama; PS5, cukup membuatku nostalgia. Mendengar jeritan-jeritan Aze dan Thorn dengan semangat. Seolah-olah mereka berjarak 10 meter untuk saling meneriaki. Padahal mereka hanya duduk bersebelahan.

Aku yakin Duri akan berbeda pendapat dengan Thorn soal ini—Duri lebih menyukai pelajaran dan pembahasan, bukan hiburan.

Disebelahku, Ai yang duduk dengan malas, memangku kucing kesayangannya. Meski dia tampak tidak berminat, dia justru orang yang paling menanti hasil pertandingan ini.




Taufan? Oh dia meski berada di ruangan yang sama dengan kami, dia memilih untuk membongkar pasang roda roda hotwheels. Entah bagaimana caranya, dia dengan santai mencongkel benda-benda mini tersebut.





Aku lumayan tertekan, dengan pembelajaran dari ayah untuk meneruskan perusahaan, tak kusangka begitu merepotkan dan membuatku pusing, pantas Solar sampai begitu—jadi kurasa refreshing sedikit tidak apa, teriakan adik-adikku menjadi hiburan tersendiri buatku.

Alhamdulillahnya ayah mengerti dan tidak menekanku. Meski aku sempat dengar jika aku sebelum kehilangan ingatan justru orang yang antusias dengan pekerjaan itu.

Aku sedikit merasa bersalah soal itu, lupakan!




Jam yang berdetak menunjukkan pukul 17.48, warna jingga pada langit perlahan digantikan oleh merah kebiruan—malam merangkak masuk.

Tak menghiraukan itu, 2 adikku justru makin bersemangat, Aze bahkan sampai berdiri demi kemenangannya.






Allahu akbar.. Allahu akbar..





Sayup-sayup adzan terdengar. Membuatku sedikit melongokkan kepala, menatap jendela.

“YEAAAAH!! SEDIKIT LAGI—” Aze berteriak dengan suara kencang. Thorn yang juga bangkit berdiri berseru membalas.

“LIHAT SAJA—”

Sungguh seperti anak SD. Padahal masing-masing sudah punya KTP.






Tep.

Eh? Layar padam. Padahal sedang klimaksnya. Membuat kami semua—kecuali adik kembarku, Taufan—menoleh serentak ke sudut ruangan, dimana pria dengan netra emas yang tersenyum lembut pada kami.

“... Sudah adzan, ayo sholat,” panggilnya, setelah mencabut kabel PS5 adikku, ia berdiri dengan anggun.


Kukira reaksi Aze atau Thorn akan brutal atau tantrum, tapi tidak ada tanda tanda kemarahan pada diri mereka, melainkan anggukan tanpa beban. Mereka membalas senyuman Gempa dengan ringan. Bahkan berlarian keluar ruangan sambil saling dorong, kuharap mereka tidak terjatuh.

BRAKK!!

“....” ya ampun.

Ai berdiri, tetap menggendong kucingnya, ia berjalan tanpa komentar.







Aku menoleh pada Gempa di ambang pintu, melihatnya yang berjongkok di dekat Taufan.

“Kak Taufan,” panggilnya pada Taufan, yang sedikit cemberut. “Nanti..” rajuknya.


Gempa tersenyum manis.

“Kak, adzan itu sejatinya membuat kita seharusnya tersadar, menghentikan kegiatan apapun, mendengarkan, lalu beranjak untuk memenuhi-Nya, panggilan Tuhan, panggilan Allah, cuma sebentar kok. Nanti ba’da maghrib bisa dilanjutkan kok, hotwheelsnya ga bakal lari. Ya?” bujuknya.

cad | gempaOù les histoires vivent. Découvrez maintenant