- taufan -

298 31 19
                                    

“Tapi bisakah aku percaya, bisakah aku mengabaikan dia seperti aku mengabaikan orang-orang lain?”

—cad—


“Kenapa kamu mau memaafkan Zaghanos?”

Kenapa?

Kutatap pria berkacamata yang duduk menghadapku, senyumannya terukir ramah, ia memegang sebuah kertas, sesekali mencoretnya, ia juga memberikan beberapa mainan. Seperti rubik. Terkadang ia menyuruhku menggambar. Aku tidak suka ketika ia bertanya, karena aku selalu butuh waktu lama untuk memahami apa yang sebenarnya ia katakan, entah seberapa banyak kesabarannya, karena dia tak pernah marah meski waktu yang kami habiskan begitu banyak panjang.

Penerapi.

Pertanyaan bodoh. Sebenarnya tidak ada jawaban untuk itu, jadi aku akan menjawab sesuai isi pikiranku. Bahkan sebelum aku dapat mengingat pertanyaan itu, kepalaku seperti hendak meledak.

Susah sekali berbicara dengan orang lain.





“Karena Gempa adikku.”

“Meski, yang ia lakukan itu jahat?”

Perlahan suaranya semakin jelas, perlahan pikiranku jernih.







“Gempa tidak jahat.”













Meremas ujung bajuku, aku terdiam cukup panjang. Suara di sekitarku tampak mentertawaiku. Mereka menabrakkan diri padaku tanpa sebab. Tawa yang kacau.

Aku bisa merasakan cairan dingin mengalir di rambutku. Menuruni wajahku.



Aku menatap lurus, sekilas aku melihat bayangan seseorang yang kukenal. Ia juga melihatku dengan mata emasnya, Gempa. Adik kembarku, aku tak tahu ia melihatku atau tidak, tapi ia menatap ke arah lain dan berjalan pergi.

Suaraku yang ingin memanggilnya tertahan oleh tawa tawa anak anak yang mengisi indra pendengaranku.

Apa aku salah lihat?

Benar. Aku pasti salah lihat. Gempa tidak akan pernah meninggalkanku disini.





Apa yang harus kulakukan? Apa ini? Apa yang mereka lakukan?





“Taufan!” suara itu memanggilku, membuatku mengangkat kepala, itu Kakak.

“Apa kalian, hah!?” suara Kakak meninggi, ia melewatiku dan membuat pukulan dibelakangku. “Lu berani ama adek gua, hah!?”

Suara pukulan kembali terdengar. Aku menatap kosong, sebuah kain menempel di wajahku.




“Permisi, Kak,” Ice. Dia memegang lenganku dan mengusapkan sebuah kain lembut di wajah dan rambutku.

Pasti merepotkan ya.

Orang sepertiku.

Membuat kalian selalu mendatangiku meski hal-hal kecil. Aku sangat heran, aku bingung dengan semua ini. Kenapa orang-orang terlihat membenciku dan kenapa mereka menyukai saat aku hanya terdiam?










Suara kaca yang pecah membuat jantungku berdegup. Sepertinya aku menendang bola itu terlalu kuat. Aku tidak bisa berbicara, rasanya kata-kata yang kukeluarkan untuk mengucap maaf sangatlah susah, otakku seperti berhenti bekerja jadi aku hanya bisa terpaku dengan gemetar.

“ANAK NAKAL!” seorang wanita berjalan dengan marah kepadaku. Aku berusaha untuk berbicara, tapi yang keluar dari mulutku hanya geraman tanpa arti. “Kenapa Pak Amato punya anak seperti ini!?”

cad | gempaWhere stories live. Discover now