BAB 44

715 70 21
                                    

Helaan napas berkali-kali terdengar dari lelaki mungil yang tengah bersandar di dalam mobil hitam itu, kepalanya sama sekali tak menoleh ke mana pun, hanya terus menatap ke arah luar jendela. Bahkan sepertinya, suara Namjoon sama sekali tak terdengar di telinganya, karena bahkan ketika Namjoon sengaja memancingnya untuk mengomel dengan nyanyian fals khasnya yang mengikuti lagu di radio, sang Adik sama sekali tak memakan umpannya.

Entah pada helaan napas Jimin yang ke berapa kalinya, akhirnya Namjoon memilih untuk mematikan radio dan memulai pembicaraan.

"Apa kau tidak tahu, kalau terus menerus menghela napasmu seperti itu, akan memperpendek usiamu?"

Jimin lantas menoleh dan memberikan Namjoon sebuah tatapan tajam, sebuah desahan kesal terdengar dari sang Adik, namun tak satu pun balasan keluar dari mulutnya.

Kedua alis matanya terangkat naik, Jimin kembali memalingkan wajah darinya. Helaan napas sendu terdengar dari lelaki yang lebih tua. "Karena Tuan Min?"

Mendengar nama itu disebut, Jimin begitu ingin memalingkan wajahnya ke arah Namjoon tetapi, ia terlalu malu pada sang Kakak. Park Namjoon selalu tahu apa yang sedang memenuhi isi kepalanya.

"Kenapa? Apa dia mencampakkan dirimu?" tanya Namjoon tanpa memberikan awalan.

"Hyung!" Yang membuat Jimin otomatis menoleh, menatap sang Kakak kesal. Namun, yang ditatap olehnya justru terkekeh kecil melihat ekspresi geram sang Adik.

"Kalau bukan itu alasannya, lalu kenapa kau terlihat sangat murung? Ah," ujarnya saat teringat akan sesuatu, "apa dia masih tidak memiliki keinginan untuk melanjutkan hidupnya? Hagin, dia bahkan sudah menguburkan identitas dirinya." Respons Namjoon asal, sengaja memancing adiknya untuk bercerita.

"Hyung, tolong, jangan jadi menyebalkan." Rengeknya tidak suka.

"Lalu?" Namjoon menatap Jimin sejenak, sebelum mengalihkan lagi pandangannya ke arah jalan raya di depan mereka. "Apa ini karena mantan suaminya?"

Sebuah helaan napas kasar kembali terdengar dari adiknya, membuat Namjoon menarik sebuah senyum segaris bermakna "I know this would happen".

"Dia menyesal sudah menceraikan suaminya?"

Jimin menggeleng pelan, menundukkan wajahnya, siap memasang wajah khas seorang adik yang meminta pertolongan kakak mereka. Menarik setiap garis di telapak tangan kirinya menggunakan jari telunjuknya. "Aku tidak tahu." Ia mengedik pelan. Bahunya turun karena tenaga miliknya sudah sepenuhnya hilang. "Yoongi Hyung tidak menyinggung apa pun soal pernikahannya yang dulu, Hyung."

Namjoon menarik satu sudut bibirnya tipis mendengar pilihan kata yang Jimin gunakan, seolah Min Yoongi sudah lama bercerai dari suaminya.

"Dia juga tidak bercerita tentang apa pun. Tapi, aku sadar bahwa ekspresi wajah juga suasana hatinya berubah sejak ia mengobrol dengan Paman Go."

"Kalau begitu, kau tidak perlu mengkhawatirkan apa pun."

Jimin mendongak mendengar ucapan Namjoon.

Bahu itu terangkat seraya menarik napasnya perlahan. Mengetuk-ngetukkan jarinya pada kemudi beberapa kali, sebelum akhirnya kembali berbicara, "Apa kalian sempat membicarakan tentang bagaimana hubungan kalian ke depannya?"

"Hyung …," cicitnya malu.

"Aku hanya bertanya, Jimin," sahut Namjoon. "Apa kau merasa bahwa Tuan Min tetap memperlakukan dirimu sama seperti waktu itu?"

Jimin mengangguk tanpa ragu. "Ya, tentu saja, tapi …." Melihat keraguan pada diri sang Adik, Namjoon mengangkat sebelah alis matanya tepat saat mobil berhenti karena lampu merah. Berusaha memastikan Jimin akan mengatakan yang sebenarnya. "Hanya saja … Yoongi Hyung … tidak, t-tidak mencium bibirku."

BORN OF HOPEWhere stories live. Discover now