Jalan Pulang

42 0 0
                                    

Alice terbangun karena guncangan yang cukup keras. Dengan tangan kecilnya dia mengusap matanya yang masih setengah mengantuk. Alice duduk sendirian di kursi belakang sementara sang ayah, Bima menyetir mobil. Tidak biasanya Alice duduk di kursi belakang. Biasanya dia suka sekali duduk di kursi depan untuk menikmati pemandangan. "Gak seru duduk di belakang, kaca mobilnya gak gede kayak yang di depan," pikir Alice. Akan tetapi, entah kenapa hari ini dia duduk di belakang. 

Alice tidak ingat kemana tujuan dia dan sang ayah akan pergi. Alice berusaha mencari tahu dengan memandang keluar jendela kecil yang berada di sebelahnya. "Pa, kok hari ini gak ada mobil-mobil?" tanya Alice. Aneh sekali, pikir Alice: "hari ini kota sepi, gak seperti biasanya. Jalanan kosong." Alice hanya memandangi kepala belakang sang ayah, menunggu jawaban. Tidak ada jawaban sama sekali.  Kesal. Berani-beraninya ayah yang biasanya selalu menjawab pertanyaan kali ini mendiamkannya. Kaki kecilnya mulai berdiri hendak pindah ke bangku depan. Belum Alice pindah ke bangku depan, sang Ayah melakukan rem mendadak. Alice terjatuh dari tempatnya berdiri dan menangis. 

Mendengar sang anak mulai menangis, Bima mengulurkan tangannya ke belakang, mengelus wajah mungil anaknya.  "Nak, Papa sayang sama kamu," kata Bima dengan lembut. Kata-kata itu meluluhkan hati Alice. Bagaimanapun, Bima adalah cinta pertamanya. Alice tersenyum lalu berpindah ke bangku depan untuk duduk di pangkuan Bima. Kecupan kecil diberikan Bima untuk anak yang disayanginya itu.

Mobil mereka terhenti karena sebuah truk pasir yang menghalangi jalan. Truk pasir itu terguling, dan pasir bawaannya tumpah ke jalan. Anehnya, tidak ada manusia yang tampak mengurus truk pasir itu. Tanpa mempedulikannya, mereka berbelok melewatinya lalu masuk ke dalam sebuah terowongan. 

Alice sudah beberapa kali diajak Bima berkendara melewati terowongan. Namun melewati terowongan panjang yang seperti tidak berujung ini menjadi pengalaman pertama untuknya. Penasaran dengan ujung terowongan itu,  Alice membentuk kedua telapak tangannya menyerupai teropong lalu "memakainya". 

"Sebentar lagi kita sampe di ujung terowongan ini," Kata Bima dengan lembut. Dia seperti sudah tahu gelagat anak semata wayangnya meskipun belum ada pertanyaan yang keluar.

"Kapan? Kita emang mau kemana sih?" tanya Alice. Penasaran. 

"Nanti juga kamu bakal tahu kita kemana," jawab Bima. 

Tidak terima jawaban Bima, Alice terus memaksa: "Kasih tahu Alice kita mau kemana, Pa!!". 

"Kita nikmatin aja ya perjalanan ini, sekali seumur hidup loh." kata Bima. "yang penting kan sekarang kita sama-sama... Gimana kalo kita nyanyi bareng?" 

Alice mengangguk, dia menyalakan radio dan mengambil handphone ayahnya untuk menyetel lagu. Sebuah intro lagu terdengar. Lagu yang selalu mereka nyanyikan bersama. Bima tertawa keras. Seperti sudah tahu bagian mana yang harus dia nyanyikan. Bima mulai bernyanyi, "I'm a barbie girl, in a barbie world". 

Barbie Girl yang dipopulerkan oleh Aqua adalah lagu kesukaan mereka berdua. Bisa dibilang itulah lagu kolaborasi antara Bima dan Alice. Kebanyakan Bima yang menyanyikan lagu tersebut, Alice hanya tertawa sepanjang lagu sampai gilirannya bernyanyi "U A U, U  A U". Ini selalu menjadi moment ayah dan anak yang tidak terlupakan oleh mereka berdua. 

Setelah berulang-ulang memutar lagu Barbie Girl, akhirnya Alice kembali merasa bosan. Dia sudah lelah, tidak ingin bernyanyi lagi. Alice mengambil handphone Bima, membuka sebuah permainan menyusun warna. 

"Alice, hari ini belum screentime kamu,"  jelas Bima. 

"Tapi Alice bosen di mobil, udah gak ada apa-apa, lama banget lagi sampenya!" teriak Alice. Sepertinya mulai tantrum. 

"Coba kamu belajar hilangin bosen kamu sendiri, jangan bergantung sama papa, jangan bergantung sama handphone," lagi-lagi Bima menjawab dengan lembut. 

"Alice harus apa? Alice bosen nyanyi, Alice gak boleh main handphone, di mobil gak ada mainan, Alice harus apa?"

Tetapi Bima tidak menjawab. Dia menunggu Alice bisa menyambuhkan kebosanannya sendiri.

Alice berpikir sejenak. Dia lalu dapat ide. Dia memegang lengan Bima, berandai-andai kalau dia yang memegang kemudi. 

"Kita main supir-supiran," kata Alice. "Ayo, pa! Tunjukin kita kemana!" 

Bima mengeluarkan senyum simpulnya. "Karena Alice yang nyetir, Alice yang tau mau kemana."

"Alice bingung mau kemana, Alice gak bisa liat ujung terowongan ini." jawab Alice. 

"Kalo gak kelihatan ujungnya, bukan berarti gak ada. Pasti ada ujungnya," jawab Bima dengan lembut. "Kamu anak papa satu-satunya, kamu pasti bisa lewatin jalan ini." 

"Alice bisa kalo ditemenin papa," jawab Alice dengan lugu. 

"Kalopun papa gak ada, kamu pasti bisa kok. Kamu harus tahu, kemanapun tujuan yang kamu, apapun pilihan kamu, papa bakal selalu dukung kamu," kata Bima. 

"Papa mau ninggalin Alice??"

Tetapi Bima tidak menjawab. 

Beberapa waktu berlalu, Mereka masih berada di dalam terowongan. Kali ini Bima merasakan suasana yang lebih tenang: Alice sudah tidur karena kelelahan. Tertidur dipangkuan Bima. Nyenyak sekali tidurnya. Bima mengecup Alice , lalu memeluknya dengan erat. Mobil masih berjalan lurus meski kedua tangan Bima sudah tidak memegang kemudi. Bima mengambil handphonenya. Display handphone Bima menampilkan Bima dan seorang wanita seusianya sedang memeluk Alice yang berulang tahun ke empat.

"Kita jaga anak kita dari sana ya, sayang"

Alice terbangun karena guncangan yang cukup keras. Dia membuka matanya dan melihat dirinya sedang dibopong oleh beberapa perawat. Mobil yang ditumpanginya menabrak sebuah truk pasir. Truk itu terguling dan pasir bawaannya tumpah ke jalan.

Para perawat bergegas memasukan Alice ke dalam ambulance. Sebelum pintu tertutup, Alice melihat samar-samar Bima yang terkapar dengan tubuh penuh darah. Meski Bima sudah terbaring tidak berdaya, Alice tetap mendengar suara Bima. 

 "Kamu anak papa satu-satunya, kamu pasti bisa lewatin jalan ini."

Pintu tertutup. Suara sirine ambulance terdengar menjauh. 

Cerita MingguanWhere stories live. Discover now