B E N I
Pak Herma---ayah mertuaku mengenakan peci putih yang sudah lemas dan belel. Rambut alis bagian ujungnya sudah memutih, beberapa helai kumisnya pun beruban. Di sebelahnya, ada Bu Mimi---ibu mertuaku—mengenakan mukena putih yang kuberikan bertahun-tahun lalu. Ada jejak basah di bagian sebelah pipi. Di antara kerut yang mencirikan usia, senyum dan harapan terpampang begitu nyata. Pasangan yang sudah lebih dari tiga puluh tahun menikah itu duduk berdampingan menghadap layar, mendatangi kami secara virtual.
Mereka baru pulang dari Switzerland—mengunjungi Mikha, anak bungsu mereka yang menetap di sana. Pagi ini selepas sholat shubuh, ibu dan ayah mertuaku dengan semangat menceritakan pengalaman menyenangkan selama melancong ke Eropa. Sepuluh persen menceritakan indahnya alam Switzerland, sembilan puluh persen sisanya menceritakan tingkah buah hati Mikha yang menggemaskan.
"Meuni bungah---bahagia sekali melihat hidupnya Mikha, ya, Yah. Tinggal di pedesaan, alamna alus pisan---alamnya bagus sekali. Mikha damel di bumi---kerja di rumah, istrinya masak, ulin jeung budak---main sama anak-anak. Budakna karasep gareulis jaba lucu, resep pisan seseurian bae---anaknya ganteng, cantik, dan lucu. Senang sekali, kita tertawa terus."
Aku sampai pegal memasang senyum palsu dari tadi. Bentangan lebar bibirku ini rasanya sanggup merobek otot-otot pipi.
"Jadi, kapan nih, Mirza sama Beni ngasih cucu buat Mamah?" tanya ibu mertuaku dengan logat sunda yang kental, diiringi tawa renyah khas-nya.
Ada hembusan napas kasar yang menyembur samar. Aku tidak bisa terus-terusan menggunakan alasan Beni mau punya anak, tapi Allah belum kasih rezeki, karena itu hanyalah kebohongan yang memicu pengharapan. Ini saatnya aku jujur bahwa aku masih ingin fokus dengan pekerjaan.
Beberapa detik setelah deheman mungil, aku buka suara untuk melantangkan isi hati kecil. "Hmm ... begini, Mah. Sebenarnya, Beni masih—"
"Masih berusaha," potong Mirza, sambil mengedipkan sebelah mata. Tertawa sekencang yang ia bisa, menebang canggung yang lebat seperti hutan belantara. "Akhir-akhir ini, Beni rajin pantau kalender menstruasi."
Bohong.
"Beni juga rutin minum vitamin, lho. Sampai pasang alarm segala, biar nggak kelewatan," tambah Mirza sambil cengengesan.
Bohong lagi.
"Tapi, masih belum dikasih juga, ya." Mertua perempuanku tercenung. "Si Neng diatur lagi jadwal kerjanya, atuh. Mereun—mungkin kecapekan, jadi susah dapat keturunan."
Bibirku sudah membuka. Sudah ada argumen keras yang siap mengudara. Mengapa hanya aku yang harus menyesuaikan jadwal kerja, padahal jam kerja Mirza sebagai dokter anestesi pun tak kalah gila?
Untungnya, Mirza piawai mendeteksi hawa panas yang timbul dari indera peraba setiap emosi negatif mendera. Dengan segera, ia menyela. "Iya, Mah. Beni sudah gak sesibuk dulu lagi. Sekarang Beni banyak di rumah, kok. Mamah tenang aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
ETyNU - Esai Tentang yang Nyaris Usai | GEMINI vol. 1
ChickLit"Saat kata pisah sudah di ujung lidah, pikirkan kembali masa saat semuanya masih indah." --- Setelah bertahun-tahun menikah tanpa keturunan, Mirza berharap Beni bersedia menjalani program kehamilan. Sementara Beni masih bersikukuh menunda momongan...