Banyakin komen dong guysss. Kalau >30 komen, aku update besok lanjutannyaa~
-
-
M I R Z A
Saat aku mendengar bunyi-bunyian keras dan gemerisik kencang dari arah seberang, aku tidak bisa mengendalikan mulutku untuk tidak memanggil-manggil Dea. Aku memanggilnya dengan suara pelan, dengan teriakan lantang, sampai dengan bisikan—sampai suaraku habis dan sambungan telepon terputus begitu saja.
Dan, di sinilah aku. Di selasar depan ruang OK. Menimang-nimang ponsel, menggigit bibir sampai rasanya gigiku tembus ke dalam, memandangi tembok rumah sakit yang putih polos. Menghidu aroma obat-obatan kimia sambil pikiranku terbang kemana-mana. Aku disergap kekhawatiran yang tidak sedikit. Dari skala satu sampai sepuluh, rasa khawatirku ada di angka sembilan koma lima.
Mataku terpaku pada layar ponsel sambil merapal doa. Sudah belasan kali aku menelepon Dea, tidak ada jawaban juga. Sudah tiga kali aku menghubungi Bagas, ini yang keempat. Aku bersumpah akan menggentayangi mimpi buruknya kalau ia tidak mengangkat juga.
"Oit! Ada apa nelepon pagi-pagi?"
Beban sebesar satu kwintal luruh dari dadaku begitu aku mendengar suara Bagas.
"Kenapa baru angkat, sih?!" Itu kalimat pertama yang aku semburkan.
"KOK ENTE NGAMOK?" hardik Bagas tak kalah kencang.
Aku mengorganisir napasku yang berantakan. "Dea. Mana Dea? Udah sampai ke rumah lo belum?"
Terdengar suara Bagas yang menanyakan ke orang-orang rumahnya apakah Dea sudah datang? Kutebak, Bagas belum keluar kamar dari tadi. Lantas, Bagas kembali ke telepon dan mengucapkan dua kata. "Belum, kayaknya."
Beban satu kwintal yang tadinya sudah luruh, kini hinggap lagi. "Dia gak ada ngomong sama lo hari ini? Chat, gitu? Ngabarin dia udah berangkat atau udah sampai mana?"
Bagas terkekeh. "Kagak, lah. Kan, semalam udah gue kasih brief dia harus datang jam berapa dan ada kerjaan apa aja. Ngapain ngabarin segala?"
"Penting, Gas!" Aku tidak bisa memusnahkan panik dalam nada bicaraku. "Dea dalam bahaya. Kayaknya... dia kecelakaan."
Lawan bicaraku berdengung sejenak. "Kecelakaan? Apa? Kok lo tau dia kecelakaan?"
Aku tidak punya energi untuk menjelaskan lebih lanjut. Jadi, aku hanya berkata, "panjang ceritanya, Gas. Intinya, Dea gak bisa gue hubung—"
"Pertanyaan gue, kenapa lo ngehubungin Dea? Ngapain?" selidik Bagas. "Tumben-tumbenan lo cariin Dea sampai segitunya. Kalau bini lo tau, doi bisa ngambek sampai kiamat, tau?"
Suara Bagas berubah bisik-bisik. "Sekarang gue lagi di rumah lo. Makanya daritadi telepon lo gak gue angkat. Gue lagi ngobrol serius sama Beni. Ini gue nyelinap ke luar rumah untuk angkat telepon lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
ETyNU - Esai Tentang yang Nyaris Usai | GEMINI vol. 1
ChickLit"Saat kata pisah sudah di ujung lidah, pikirkan kembali masa saat semuanya masih indah." --- Setelah bertahun-tahun menikah tanpa keturunan, Mirza berharap Beni bersedia menjalani program kehamilan. Sementara Beni masih bersikukuh menunda momongan...