TIGA PULUH EMPAT

20 4 9
                                    

Dengan lesu, Diana melintasi gerbang sekolah. Pagi ini, dia memutuskan untuk tidak berangkat bersama Riana, dan memilih untuk naik ojek.

Gadis itu berjalan menuju kantin sambil menggendong tasnya. Dia memutuskan untuk tidak langsung ke kelas, melainkan membeli makanan di kantin untuk sarapan. Biasanya, Diana sarapan di rumah Riana, tapi karena kejadian kemarin, dia enggan mengunjungi rumah temannya itu.

Setelah membeli nasi di kantin, Diana berjalan keluar, tanpa menghiraukan pandangan aneh dari beberapa murid yang memperhatikannya dengan tatapan misterius yang tidak bisa dia mengerti.

Saat Diana sudah sampai di belakang kelasnya, tiba-tiba, sebuah genggaman kuat menyentuh tangannya, membuatnya spontan berteriak.

"Eh, kenapa teriak, Cok?" tanya Fiano dengan rasa heran, sambil melepaskan cekalan tangannya yang tadi.

Wajah Diana penuh dengan ekspresi campuran antara kaget dan marah. Dia menatap tajam Fiano dengan pandangan yang menuntut penjelasan atas tindakan yang tiba-tiba tersebut.

"Lo ngapain, sih! Kan gue udah bilang, interaksi kita lewat telepon aja!" bentak Diana, suara terdengar tegas dan penuh ketegasan.

Fiano tampak bingung, dia tak mengerti kenapa sikap Diana berubah kembali. Dalam kebingungannya, dia mencoba mencari pemahaman.

"Lo kenapa, Na? Gue ada salah apa lagi sama lo?" tanya Fiano dengan rasa tidak mengerti yang jelas terpancar dari wajahnya.

Diana menatap Fiano dengan penuh intensitas, memperjauh jarak di antara mereka berdua. Wajahnya mencerminkan keteguhan dan keputusan yang tak tergoyahkan.

"Lo nggak ada salah, No. Gue cuma lagi berusaha buat bikin nama gue baik lagi," jelas Diana, suaranya terdengar mantap dan penuh keinginan yang kuat.

Fiano masih belum sepenuhnya memahami niat sebenarnya di balik keputusan Diana. Dia merasa perlu mengajukan pertanyaan untuk mencari klarifikasi.

"Segitunya lo berusaha buat mempertahankan jabatan lo? Lagian lo bentar lagi purna, apa yang mau dipertahankan?" tanya Fiano dengan nada penasaran.

Diana yang mendengar pertanyaan itu langsung menatap Fiano dengan tatapan tajam, mengirimkan pesan yang jelas bahwa dia sangat serius dengan apa yang akan dia sampaikan.

"Nggak ada yang lebih berharga dari jabatan gue sekarang. Apapun bakal gue lakuin buat mempertahankan jabatan gue, termasuk jauhi lo!" ucap Diana dengan tegas, memastikan bahwa keputusannya tak dapat digoyahkan oleh siapapun.

"Diana!"

Panggilan suara tegas itu, membuat kedua remaja itu mendongak dan menatap sumber suara tersebut.

Mata mereka memandang ke arah Pak Teguh, seorang guru yang berdiri di depan mereka dengan pandangan penuh intimidasi. Diana merasa seakan-akan energi dalam dirinya menghilang. Ini adalah kesempatan terakhirnya untuk memperbaiki segalanya, dan sekarang dia telah melanggarnya.

"Pak, ini tidak seperti yang Bapak lihat. Saya bersumpah, Pak," ucap Diana dengan nada serius, berusaha menjelaskan situasi kepada Pak Teguh saat beliau mendekat.

Pak Teguh hanya menggelengkan kepala dengan ekspresi kecewa. Tidak ada sepatah kata pun yang diucapkan, namun ekspresi di wajahnya berkata banyak. Setelah sejenak berdiri di depan mereka, Pak Teguh pergi meninggalkan kedua remaja itu.

Diana dengan cepat berlari kecil menyusul langkah Pak Teguh, tanpa memedulikan keberadaan Fiano di belakangnya. Satu-satunya yang terlintas dalam pikirannya adalah menjaga jabatannya.

"Pak, saya bisa menjelaskannya. Tolong, Pak, dengarkan penjelasan saya. Jangan mengambil alih jabatan saya," desak Diana, mencoba menyeimbangkan langkahnya dengan langkah Pak Teguh yang cepat.

Diana & Kisahnya Where stories live. Discover now