TIGA PULUH LIMA

11 2 12
                                    

"Gue kenyang banget. Nggak sanggup, ah, habisin segini banyaknya roti." Irfan menarik napas lega sambil memegang perutnya yang kenyang.

Emma mengangguk setuju sambil mengusap-usap perutnya. "Iya. Udah eneg banget rasanya."

Diana menyahut sambil menggelengkan kepala. "Apalagi gue? Kalian berdua, kan, tahu gue nggak suka roti. Lagian, gue di rumah juga sendirian. Nggak bakal ada yang makan kalau gue bawa pulang roti-roti ini."

"Bisa-bisa overdosis gue kalau makan semuanya sendiri," kata Diana, sambil menyandarkan punggungnya di kursi kantin.

Di kantin, tiga remaja itu duduk bersama di sebuah meja yang penuh dengan tumpukan roti. Para anggota OSIS tadi memberikan Diana sekitar enam roti, dan sekarang dia meminta Irfan dan Emma untuk membantu memakannya.

Irfan mengusulkan dengan antusias, "Lo sedekahin aja."

Emma menganggukkan kepala setuju sambil tersenyum. "Boleh juga, tuh. Ke satpam sekolah atau pak kebun."

"Ya, udah, lo berdua aja yang kasih sama," perintah Diana.

"Ye, orang ini roti lo," kata Irfan. "Kalau nggak, kasih siapa aja yang lewat, deh. Daripada ribet-ribet. Tapi suruh bayar," lanjutnya.

Emma yang mendengar itu langsung memukul pipi pacarnya. "Kalau itu namanya disuruh beli."

Irfan terkekeh. "Bisnis. Anak marketing harus pintar bisnis," matanya sambil menaik turunkan alisnya.

Diana yang mendengar itu menghela napas pelan. Dia merapikan roti-roti yang ada di meja, lalu dengan hati-hati memasukkannya ke dalam kardus bungkusnya.

Saat Diana mengangkat kepalanya, pandangannya tak sengaja tertuju pada Riana yang sedang membeli makanan di dekatnya. Tanpa ragu, Diana mengambil salah satu roti yang sudah terbungkus dan dengan cepat berlari menjauh dari meja mereka.

Irfan yang sedang memperhatikan dengan kebingungan bertanya dengan suara keras, "Eh, ini rotinya gimana?"

Diana, yang sudah agak jauh dari mereka, menjawab dengan senyum di wajahnya, "Buat kalian berdua!"

Diana memanggil Riana saat jarak mereka sudah cukup dekat. Dia bernapas terengah-engah saat sampai di samping Riana.

"Dipanggil dari tadi juga," kata Diana sambil mencoba menenangkan napasnya.

"Kalian duluan aja," kata Riana, memberi izin kepada keempat temannya untuk ke kelas dulu.

Setelah teman-temannya pergi Riana bertanya tanpa minat, "Ngapain?"

Diana menyodorkan tangannya sambil berkata, "Mau kasih roti."

"Gue nggak suka roti."

"Tapi, lo doyan, kan?" tanya Diana dengan harapannya.

"Buang aja," kata Riana sambil berbalik badan, berencana untuk pergi. Namun, Diana segera menghentikannya.

"Sayang kalau dibuang, dong, " kata Diana dengan wajah sedih. "Tadi, gue dapat roti dari anak OSIS, tapi—"

"Kenapa? Mau pamer habis dikasih kejutan sama bawahan lo?" Riana menatap Diana tanpa ekspresi.

Diana menggelengkan kepala. "Nggak gitu, Riana."

"Terus apa? Lo buang-buang waktu gue tau, nggak?" kata Riana sambil membalikkan badannya, tetapi Diana sekali lagi menghentikannya.

"Lo masih marah? Gue minta maaf," kata Diana. "Lo suka Fiano, kan? Gue bakal jauhi Fiano. Jadi lo bisa deketin Fiano. Udahan marahnya, ya?"

Namun, Riana tidak memberikan jawaban. Dia justru menyentak tangan Diana dengan kasar, lalu pergi meninggalkannya.

Diana menghela napas berat. Seharusnya, bukan Riana yang marah, melainkan dirinya yang marah pada gadis itu karena perlakuannya bukan?

Diana & Kisahnya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang