Chapter 44 : Untuk Terakhir Kali

323 41 3
                                    

TERNYATA ikhlas membuat Sheila mendapatkan hal yang selalu ia impikan.

Selama menjadi penulis, hal yang selalu Sheila inginkan yaitu ada penerbit yang tertarik pada naskahnya. Kekuatan internet dan kemajuan teknologi sangat pesat, membuat apa pun bisa tertampilkan dengan cepat.

Menulis adalah cara Sheila melakukan dakwah secara tidak langsung. Hal itu membuat Sheila berharap jika novelnya bisa memberikan pelajaran berharga bagi para pembaca. Tak heran, karena keteguhannya dalam mempelajari dan menyampaikan, Sheila mendapatkan pesan yang tak ia duga.

Dua bulan sebelum ujian, naskah Sheila dilamar oleh salah satu penerbit besar di Bandung. Hal itulah yang menjadi keputusan Sheila untuk ikut pergi bersama Abinya selama seminggu lebih ke Bandung untuk mengurus kepindahan. Belum lagi, Sheila memang diundang agar datang oleh pihak penerbit untuk membicarakan beberapa hal terkait penandatanganan dan persetujuan antara kedua belah pihak.

Maka dari itu, mereka memilih untuk mengemasi barangnya lebih dulu setelah mendapatkan rumah baru. Hanya saja, Sheila kembali lagi ke Jakarta karena harus mengikuti acara pelepasan serta kelulusan.

Karena ia belum sempat menempelkan stickynote, Sheila memilih untuk datang ke sekolah setelah satu jam kepulangannya dari Bandung. Sheila sedang mengambil dress untuk acara pelepasan karena belum sempat mengambilnya.

Namun, ternyata kali ini, Sheila malah bertemu dengan Razka.

"Kalau dari sini, lebih kelihatan besar," ucap Razka.

Mau tahu satu alasan mengapa Sheila pergi secepat itu ke Bandung? Jawabannya, Sheila hanya ingin menenangkan hatinya. Disaat penolakan yang ia berikan pada Abhizar, Sheila pun merasa sedikit terganggu dengan kehadiran Razka. Pemuda itu selalu ada dan melakukan banyak hal pada dirinya, bahkan pada saat titik terendah.

Segala perlakuannya sama seperti apa yang ia tulis pada novel. Membuat hati dan pikirannya harus bekerja pada hal yang tak seharusnya.

"Saya jarang banget naik ke rooftop, ternyata indah banget." Sheila tersenyum, memegang pembatas Rooftop yang setinggi bahunya. Gadis itu berjingjit untuk melihat keadaan bawah sana dengan jelas.

Melihatnya, Razka ikut tersenyum. Pemuda itu lalu mengambil satu balok kayu yang dipakai sebagai tempat duduk ke arah kaki Sheila, membuat Sheila menoleh, gadis itu merunduk.

"Naik, biar kakinya gak sakit jingjit terus," ucap Razka, tanpa menatap.

Mengikuti perintah Razka, Sheila menapaki balok kayu tersebut, matanya langsung menatap lingkungan sekolah dengan binar bahagia. Sungguh, lapangan, taman, tempat parkiran, dan semua yang menjadi komplek SMK Doa Bangsa terlihat sangat indah.

Bersyukur hari ini Sheila memakai topi, wajahnya jadi tidak terlalu terkena terik sinar matahari. Juga, Sheila lega karena ternyata banyak siswi yang masih berada di Rooftop sekadar untuk pengambilan poto dan video kelas. Jadi, mereka tidak hanya berduaan.

Kembali memotret dengan kamera ponselnya, Sheila membiarkan Razka yang hanya bisa menatap ke arah depan tanpa berkomentar apa pun. Sesekali, pemuda itu menolehkan kepala pada Sheila yang hari ini terus tersenyum.

"Gue kira ... lo tidak akan ikut acara besok," ucap Razka, membuat Sheila kembali menoleh.

"Ada beberapa hal yang belum selesai disini, perpisahan saya, wisuda Abang, dan saya belum pamit sama temen-temen," jawab Sheila.

Razka mengangguk. "Salah satunya. Lo gak pamit sama ketua kelas lo ini," katanya, membuat Sheila terkekeh.

"Senang, ya, novelnya mau terbit?" tanya Razka lagi, mata kecilnya semakin menyipit. Sheila benar-benar terlihat bahagia.

SHEIRAZ PLANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang