Buku Tahunan

69 0 0
                                    

Sudah satu jam Jimmy duduk sendirian di pojokan cafe. Dia menghabiskan waktu hanya ditemani satu gelas lychee tea dan buku tahunan SMA yang sengaja dibawanya dari rumah. 

Memori-memori masa lalu hadir di dalam pikiran Jimmy ketika membaca buku tahunan itu. Dia teringat betapa amburadul penampilannya ketika masih dibangku sekolah: rambut acak-acakan, kemeja yang tidak rapi, dan kulit wajah yang berminyak. "Buluk" sekali kelihatannya. Dia yang sekarang akhirnya paham kenapa zaman itu semua wanita menolaknya.  Meski begitu, dengan penampilan yang seadanya, itu menjadi waktu paling menyenangkan di dalam hidupnya; waktu dia bertemu dengan Intan.

Awalnya, Jimmy hanya pernah melihat Intan satu dua kali di kantin sekolah. Tidak banyak yang dia ketahui tentang Intan. Kabar yang beredar, Intan adalah sosok kakak kelas yang sulit sekali untuk di dekati. Semua cowok yang mendekat selalu ditolaknya. 

Jimmy pertama kali berkenalan dengan Intan ketika bergabung menjadi anggota divisi acara untuk pentas seni sekolah. Divisi acara mengadakan meeting seminggu dua kali: hari selasa dan kamis. Namun meski frekuensi bertemu mereka lebih banyak dari sebelumnya, hubungan mereka tidak lebih dari sekedar ketua dan anggota. 

Sore itu hujan badai menyebabkan banjir di sekitar sekolah. Tidak ada tanda-tanda hujan akan mereda. Beberapa murid yang pulang terlambat terjebak di sekolah karena jemputan tidak bisa masuk. Jimmy memberanikan diri untuk menghampiri Intan yang sedang duduk sendirian dengan air pods terpasang di kedua telinganya. 

"Hai, Kak Intan" 

Ditemani derasnya hujan, Jimmy dan Intan banyak menghabiskan waktu untuk mengenal satu sama lain. Topik demi topik bergulir, semakin lama Jimmy merasa lebih tau fakta-fakta menarik tentang Intan. 

"Lo Swifties??" kata Jimmy. Sedikit berteriak. 

"Iya, gue bakal nonton konsernya loh di Singapore Januari tahun depan," balas Intan dengan nada sedikit pamer. 

"Enak banget!! Gue juga mau tapi kemarin kalah war tiket!" jawab Jimmy. 

"Nanti gue videoin deh buat lo."  

Obrolan mereka terus berlanjut sampai akhirnya banjir surut di malam hari. Ada perasaan sedih di hati keduanya mengetahui hujan telah reda. Mereka berdua paham, ini pertanda berakhirnya obrolan hari itu. 

"Gue boleh minta WA lu gak?" tanya Jimmy. Gugup tentu saja. 

Intan tertawa, "kan lu punya WA gue di grup acara" 

Jimmy tertawa malu. 

Mobil yang menjemput Intan sudah datang. 

"Gue duluan ya," kata Intan. "Kabarin kalo lu udah sampe rumah."

Mendengar itu, Jimmy langsung tersenyum lebar. 

Malamnya Jimmy dan Intan saling berkomunikasi lewat WA. Intan mengenalkan lagu Taylor Swift favoritnya berjudul "Crazier". Lagu itu menceritakan tentang perasaan ketika bertemu dengan seseorang yang memberikan banyak sekali pengalaman baru, dan membuat kita semakin tergila-gila dengan orang itu. Persis seperti apa yang Intan lakukan kepada Jimmy. 

Semejak hari itu hubungan Jimmy dan Intan pun semakin dekat. Intan memberikan Jimmy coklat oleh-oleh dari Amerika yang dibawa ayahnya. Pernah suatu hari Jimmy mendapati Intan sedang menangis karena banyaknya beban pekerjaan yang diberikan untuk ketua divisi acara. Hubungan mereka semakin lama semakin merekat. Mereka jadi lebih sering menghabiskan waktu berdua: Intan sering mengajari Jimmy pelajaran sekolah, sering menonton bioskop bersama, dan makan malam bersama. 

Tanpa terasa, waktu sudah banyak berlalu. Pentas seni yang digelar pun berjalan dengan sangat lancar. Semua yang hadir di situ tersenyum bahagia. Acara ini juga sekaligus menjadi hadiah terakhir untuk para murid kelas tiga yang sebentar lagi akan lulus. 

Di belakang panggung, Jimmy dan Intan duduk. Mereka berdua kelelahan setelah seharian mengorganisir acara. 

"Akhirnya semua selesai ya, Jim." kata Intan. "Gue sempat mikir kalo kita gak bisa loh ngurusin ini semua."

"Gak nyangka rasanya, dipercaya ngurusin pentas seni sebesar ini."  

"Iya! Ternyata kita bisa," kata Intan, senang. 

Jimmy diam sebentar. Dia memberikan diri.

"Kalo gue mau jadi pacar lo bisa gak?"

Ekspresi Intan langsung berubah. Kesedihan tampak di sorot matanya. 

"Sorry. gue anggap pacaran itu hal serius.," kata Intan pelan. " Tujuan pacaran itu buat nikah, dan gue gak mau nikah." 

"Jadi, lu mau sendirian gitu? Sampe tua?"

"Iya. Gue kebiasa hidup kayak gini," kata Intan dengan lembut. "Pacaran bikin gue harus ngelibatin orang lain di setiap keputusan hidup gue. Gue harus ngabarin setiap hari, gue gak bisa bebas,  belom lagi harus mikirin perasaannya setiap kali mau ngapa-ngapain. Rasanya, gue belom siap."

"Gue mau nungguin  lo siap. Gue gak bakal jadi pacar yang minta lo buat kabarin terus." 

"Kalo gue gak pernah siap gimana? Lo mau nungguin gue sampe kapan? Lo bakal berjuang sendirian"  jawab Intan. "Lo berhak dapet cewe yang juga perjuangin lo, kayak lo perjuangin dia. dan orang itu bukan gue."

Jimmy menunduk sedih. Tidak bisa berkata apa-apa. Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. 

Waktu berlalu, kehidupan berjalan. Tidak ada yang berubah dari hubungan Jimmy dan Intan. Walau sudah mendengar alasan Intan, di lubuk hati kecilnya, Jimmy masih belum  mau menyerah. 

Jimmy berpisah dengan Intan di acara kelulusan. Hari itu Intan memeluk Jimmy dengan sangat erat. Menyadari kalau hidup mereka akan berpisah di sini. Intan akan melanjutkan studinya di Jepang, sementara Jimmy masih harus sekolah satu tahun lagi. 

Lychee tea yang dipesan sudah habis. Jimmy menutup buku tahunannya dengan segudang memori indah bersama Intan. 

"Jimmy?"

Terdengar suara familiar yang dulu sering dia dengar. 

"Intan? Ngapain lo disini?" sahut Jimmy. Sesaat, semua memori SMAnya seperti terulang. Intan benar-benar ada di depannya. 

"Beli kopi," Intan menunjukan dua kopi take away yang dibawanya. "Apa kabar lo? Gue dengar lo ke Unpar ya?" 

"Iya, awalnya gak dibolehin sama nyokap, dia pengen gue tinggal sama dia. Tapi akhirnya setelah gue bujuk, akhirnya dia mau" jawab Jimmy. "Kalo lo sendiri gimana nih? Apa yang bikin lo pulang dari Jepang?" 

Intan tersenyum simpul. "Gue jatuh cinta."

"Hah? Ini Intan yang gue kenal kan? Gak salah orang kan?"

Intan hanya tertawa. 

"Kok bisa?" 

"Gue berubah... Sama dia, gue ngerasa siap." kata Intan sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah undangan pernikahan. "Gue bakal nikah minggu depan. Lo datang ya."

"Gue gak tau gue udah siap apa belom" 

Intan mengangguk. "Gue berharap banget lo bisa datang." kata Intan. "dan gue percaya, suatu hari nanti lo bakal bisa dapetin orang yang pas buat lo, kayak gue dapetin calon suami gue."

"Gue seneng banget akhirnya bisa ketemu lo lagi"

Mereka berdua berpelukan. Erat sekali. Jimmy tau inilah akhir dari perasaannya kepada Intan. 

Hujan mulai mengguyur malam itu. Dari tempat duduknya, Jimmy memperhatikan Intan yang berjalan masuk ke dalam sebuah mobil. Di dalamnya, satu orang pria sudah menunggu Intan. Intan menunjuk ke arah Jimmy. Mata pria itu dan Jimmy saling bertemu. Jimmy mengangkat tangannya, memberikan salam yang dibalas dengan senyuman ramah. 

Mobil Intan dan calon suaminya pergi meninggalkan Jimmy dan buku tahunannya.

Cerita MingguanWhere stories live. Discover now