Danau

995 109 13
                                    

Sandi Chandra Wicaksana telah mempertaruhkan seluruh keberaniannya demi meminta Lintang Prajingga agar menjadi kekasihnya. Dan mana kala usahanya berbuah manis, si pemuda tampan harusnya tersenyum senang, menepuk dadanya bangga. Harusnya.

Karena nyatanya bahkan setelah malam panjang penuh desah kenikmatan yang ia dan Jingga lalui bersama, rasa hambar masih menyusup di antara ricuh perasaan. Tentu saja Sandi tak ragu akan ketulusan Jingga padanya. Hanya saja baginya terlalu getir walau manis yang sebenarnya dikecap rasa.

Jam makam siang sudah berlangsung sejak sepuluh menit lalu. Memamerkan senyum ramah pada setiap persona yang ia kenal di lorong tepi fakultas hukum, Sandi membawa langkah berbalut sepatu converse hitam menuju kantin dimana kekasihnya makan seperti biasa.

Terlalu hafal di luar kepala, Sandi bahkan tahu dimana letak meja yang sering jadi tongkrongan Jingga dan sahabatnya, Harsa.

"Loh, Jingga mana?" Sandi bertanya pada satu-satunya entitas yang saat itu mengisi meja.

Harsa yang sibuk bermain ponsel sendirian mendongak saat Sandi datang. "Lagi ke toilet." Singkatnya lalu beralih menyesap es teh yang ternyata memang ada dua gelas di hadapannya. Pasti salah satunya milik Prajingga.

Sang Chandra mengangguk paham. "Belum pada pesen ya? Gue pesenin dulu deh. Biasa kan?"

Sandi sudah akan bangkit melangkah memesan makanan sebelum satu entitas lagi bergabung tanpa undangan. "Makan siangnya Kak Jingga. Dia lagi kurang enak badan makanya gue pesenin makanan sehat."

Ah, itu Dewangga. Datang dengan tatap datar seperti biasa, meletakkan sekotak makanan dengan lable healthy food di permukaan tutupnya.

Sandi dan Harsa saling tatap kebingungan. Mereka tak biasa menanggapi Dewa yang karakternya begitu kaku dan tertutup pada mereka.

"Jingganya lagi ke toilet, tungguin aja." Sandi yang akhirnya ambil peran untuk sekedar mencairkan suasana.

"Udah tau." Ujar Dewa dengan suara berat, macam mendesis. Seolah lupa jika yang diajak bicara adalah kakak tingkat yang notabene lebih tua, ia duduk di salah satu kursi disana tanpa merasa perlu izin atau semacamnya.

Beruntung selang tak begitu lama sosok manis Jingga muncul dengan langkah pelan memecah kecanggungan yang melingkup adik dan kedua temannya. Ia mengerutkan dahi bingung, mengapa mereka bertiga hanya diam saja?

"Eh, ada apa sih kok pada diem?" Tanyanya berhasil meraih atensi keempat entitas disana.

Jingga mengambil duduk di samping Dewa, berhadapan dengan Sandi yang duduk di samping Harsa.

"Nggak apa-apa kok, sayang. Kamu katanya nggak enak badan? Kok nggak bilang aku?"

"Ak....."

Belum sempat Jingga menjawab pertanyaan kekasihnya, Dewa keburu angkat suara. "Ini makan siang lo. Nggak usah ngide jajan macem-macem di kantin, perut lo lagi nggak enak."

Jingga menghela nafasnya. Diliriknya enggan kotak makan yang ia yakini isinya salad dan kondimen-kondimen khasnya yang sudah disodorkan Dewangga. Namun pada akhirnya mau tak mau ia terima kotak tersebut bahkan mengesampingkan enggan karena tak mau membuat sang adik kecewa.

"Makasih, ya. Kamu makan siang disini juga kan sama Kakak?" Seolah dia lupa ada Sandi yang belum ia beri jawaban.

"Nggak. Gue ada tugas, buru-buru."

"Ah, ok deh. Tapi kamu jangan lupa makan ya. Inget, jaga kesehatan."

"Iya, bawel." Respon Dewa mengusak puncak kepala Jingga macam ia saja yang lebih tua. Sembari netra setajam elang miliknya melirik ke seberang, pada pemuda yang beberapa waktu lalu sempat ia antarkan pulang.

RECTANGLE (Boys Love, Mpreg)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora