Langit

657 78 21
                                    

Hidup bahagia untuk selamanya, nyatanya hanya frasa fiktif yang menghias setiap akhir buku cerita. Khayalan manis penulis yang tak pernah muncul di dunia nyata.

Dewangga Suryatama tengah membuktikannya. Sekuat tenaga membawa lari cintanya, berusaha membuatnya bahagia meski kerja keras jadi gantinya. Dewa kira semua pengorbanannya demi bisa hidup tenang bersama Jingga dan bayi mereka sudah lah cukup untuk membayar takdir demi menggoyah arah cerita mereka. Nyatanya derita demi derita masih bertubi menyapa.

Jingga jatuh, terpaksa melahirkan dengan operasi meski kandungannya belum cukup bulan, bayinya lahir prematur, kesulitan keuangan untuk membayar biaya rumah sakit, bahkan tunggakan biaya sewa rumah akibat si tampan yang hampir sebulan tak bekerja demi bolak-balik rumah sakit menjaga dua tercintanya.

Terkadang terpikir untuk menyerah, mengakhiri hidup untuk pergi dari derita. Tapi kemudian sisi lain Dewa membisik pelan, kalau dia pergi bagaimana dengan Jingga dan bayi mereka? Keduanya jadi tanggung jawab Dewa sepenuhnya sekarang.

Kembali pergi bekerja? Mau sampai berapa tahun bekerja sampai uang yang terkumpul bisa untuk membayar semua hutang mereka? Bahkan jika mobil Dewa dijual-pun hasilnya tak menutup separuh rincian biaya rumah sakit kedua terkasihnya.

"Kalau sampai besok belum ada titik terang soal kejelasan administrasi, kami terpaksa melepas semua alat bantu yang terpasang di tubuh pasien, Pak."

Bagaimana Dewa tak kalang kabut jika penopang hidup Jingga saat ini hanya alat-alat antah berantah yang menempel di tubuhnya? Pun bayi mereka yang sayangnya punya fisik rentan dan tak kunjung sehat meski berminggu sudah hidup dibantu hangat dalam inkubator.

Dewangga Suryatama tak punya pilihan lain selain pulang mengadu nasib pada sang Mama dan ayah tirinya. Meluruh ego yang selama ini dibangun kuat di balik sikap dingin dan wajah cuek tak mau tahu miliknya.

"Tanda tangani surat itu, Dewa. Dan Papa akan langsung transfer uangnya ke pihak rumah sakit. Bahkan kalau perlu kita pindahkan Jingga ke rumah sakit lain yang lebih bonafit." Suara Anjar terdengar bak petir di tengah mendung sang putra tiri.

Dengan jemari gemetar memegang pena, Dewa mendongak. Menatap satu persatu antara Mayra, Anjar, dan Raka sekretaris sang Papa yang datang membawakan berkas perjanjian mereka. Dapat si tampan lihat, lelaki akhir dua puluhan itu hanya menatapnya miris tanpa jawab apa-apa.

"Pa....." Bak terganjal bongkahan besar di tenggorokan, suara Dewa semakin bergetar. "Apa ini nggak ......... kelewatan?" Sebisa mungkin ia berusaha tak salah memilih kata.

Melirik isi perjanjian yang tertera jelas butir demi butirnya, tak satu terasa benar bagi Dewangga.

Mencari bantuan bela lewat sang Mama juga bukan hal baik untuknya. Si wanita malah melengos tatap, membuang muka. Ia tak bisa berkutik atas keputusan yang diambil suaminya.

"Iya, atau tidak. Cuma itu Dewangga. Papa nggak bisa kasih kamu penawaran lain. Jadi, iya atau tidak??" Dominasi khas orang nomor satu di sebuah perusahaan maju ternama.

Dewangga memejamkan mata. Membayang rupa ayu Prajingga yang tersenyum manis hingga netranya membentuk garis sabit indah. Ia tak bisa membiarkan senyum manis itu direnggut lagi oleh semesta. Jingga harus tetap tersenyum bahagia, meski bukan ia yang jadi alasan di balik senyumannya.

"Iya, Pa. Saya tanda tangan sekarang."

Anjar mengukir senyum seringaian. "Pilihan bagus, Nak."











....












Baru beberapa hari Sandi magang di perusahaan yang tempatnya sampai saat ini masih si tampan rahasiakan. Tapi bagi Harsa rasanya sudah sangat lama hingga waktu bertemu mereka makin berkurang.

RECTANGLE (Boys Love, Mpreg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang