Di Ambang Batas

744 89 11
                                    

Rumah sakit memang bukan tempat yang bisa dikatakan sepi, terutama di tengah siang bolong macam begini. Hilir mudik beragam persona dengan berbagai kepentingannya mengisi riuh di antara derap langkah dan derit roda brankar yang membawa pasien-pasien butuh penanganan.

Di tengah keramaian yang membelit, sosok Dewangga Suryatama merasa sunyi sepi sendiri. Terduduk di salah satu kursi besi hanya ditemani isak dan deru nafas memburu serta detak jantung yang seriuh genderang perang.

Rambut legamnya basah keringat. Diremas frustrasi dengan jemarinya sendiri yang masih terhias noda merah walau sebagian mengelupas karena kering.

"Jangan pergi, please. Jangan tinggalin aku." Selayak mantra, ratap untai kata dirapal lirih tanpa suara. Bisikannya pilu di telinga mengadu sedu sedan.

Cklek ...

Pintu ruangan di belakangnya terbuka seiring keluar seorang wanita usia awal empat puluh dengan sarung tangan latex dan masker yang dilepas saat Dewa bergegas berdiri mendekati.

"Gimana keadaannya, dok? Mereka baik-baik aja kan??" Menuntut jawaban,  wajah tampan itu jauh dari kata tenang.

Sang dokter wanita melayangkan tatap miris pada pemuda berantakan di hadapan. Dihela nafasnya berkali, mengumpulkan keyakinan menyampaikan berita yang mungkin belum sesuai harapan. "Pasien harus segera dioperasi, Mas. Bayinya harus segera dilahirkan kalau mau diselamatkan."

Deg.

Dewa diam, sejenak termangu. "O.. op.. perasi?"

"Iya, Mas. Mas sebagai wali menyetujuinya kan?" Tanya sang dokter.

Nafas sang Surya terasa makin berat. Menyakitkan di tiap tarikan. "Peluangnya... berapa persen dok?"

"Karena pasien belum sadar, kalau segera dilakukan operasi kemungkinan bayi selamat lebih besar tapi untuk keselamatan ibunya akan lebih kecil."

"Kalau gitu tunggu sampai ibunya siuman dulu, dok!!" Potong Dewa di sela penjelasan si dokter wanita.

Yang lebih tua menggeleng pelan, sendu. "Kalau tidak kunjung mendapat tindakan, kemungkinan bayi selamat semakin kecil Mas."

Apa maksudnya? Bukankah ini sama saja dengan Dewa dihadapkan pada buah simalakama? Siapa yang harus ia dahulukan keselamatannya? Jingga sang pemilik hati atau bayi si buah hati?

Nafasnya dihela kembali, lebih panjang dan penuh perhitungan. Matanya terpejam sejenak untuk kemudian menatap mantap ke arah wanita di depannya. "Lakukan operasi sekarang, dok. Selamatkan dua-duanya. Mereka nyawa saya, dok. Tolong selamatkan mereka."

Si wanita mengerjap. Mengangguk lalu tersenyum simpul menepuk pundak Dewa. "Kami usahakan. Tapi semua keputusan ada di tangan Tuhan. Jadi Mas jangan berhenti berdo' untuk mereka ya."

Sang dokter kembali masuk setelah Dewa mengangguk mengiyakan perkataannya. Meninggalkan Dewangga yang kembali terduduk dengan keadaan lebih sunyi, namun isi kepala yang ributnya bukan main. Berbagai kemungkinan dan alur cerita ia rangkai sendiri, menerka-nerka takdir apa yang akan mereka hadapi setelah ini.

"Hahhhh..." Punggungnya disandarkan pada sandaran kursi yang entah kenapa terasa dingin di siang terik begini. Mata berembunnya mengawang, kembali membayang kejadian beberapa saat lalu yang membuat hidupnya seolah dijungkir balikkan seketika itu jua.

Baru tadi pagi Prajingga mengantarnya pergi bekerja. Mengiring hingga depan pintu dengan perut buncit dan senyum manis yang selalu berhasil membuatnya jatuh bertekuk lutut. Manis kecup juga tak pernah terlewat, menikmati hidup layaknya pasangan suami istri bahagia meski nyatanya status mereka hanya abu-abu saja.

RECTANGLE (Boys Love, Mpreg)Where stories live. Discover now