Realita

724 99 33
                                    

Dewangga Suryatama tak pernah menyangka tingkah kurang hati-hatinya yang mengendarai mobil sembari bercumbu mesra dengan Jingga di sisi kiri bisa membuatnya berakhir semengenaskan ini. Berawal dari rasa manis tiada tara yang ia sesap dari bilah kenyal sang kakak, berlanjut teriakan kaget Jingga dan lebar netranya tak siap mendapati sebuah mobil hitam tepat berada di hadapan mereka melaju  tak terkendali.

BRAAAKKKK

Walaupun kesigapannya terlampau terlambat, tapi beruntung air bag yang mengembang ketika mobilnya hampir saling adu banteng di jalanan dengan si honda jazz hitam membuat nyawanya terselamatkan dengan luka tak seberapa di bagian pelipis dan lengan kanan. Dewa berhasil membanting kemudi ke arah kanan, hanya terserempet dengan mobil lawan dan berakhir bagian depan tetap menghantam pohon mahoni pinggir jalan yang kokoh tak terkalahkan.

Buram membelalak di mata tak ada lain yang dituju obsidiannya selain tubuh tak berdaya Jingga yang diangkat oleh beberapa orang dan dimasukkan ke dalam ambulance yang baru datang. Tak ambil waktu ia ikut masuk, bersama dua tenaga medis yang mendampingi brangkar Jingga di dalam mobil.

Tangis, panik, derap sirine bersahut di udara, serta rengek dari mulut kecil Jingga yang mulai sadar. Semuanya berebut tempat di indera pendengar Dewa, membuat pengang sekaligus pening yang menghantam meninggalkan bekas luka, lara.

"Sshhh, sakiiit Wa."

"Iya, aku tau. Sabar ya, jangan pejamin mata lagi. Tatap aku."

Resah, gusar. Bahkan tak sadar Dewa merubah kata ganti kasarnya menjadi lebih lembut sambil menggenggam erat jemari sang Lintang.

Tubuh Jingga tak menampakkan luka berarti, hanya lecet dan gores serpihan kaca di wajah dan leher serta lengan. Namun yang membuat Dewa begitu khawatir adalah gestur si manis yang meringkuk memegangi perutnya kesakitan.

"Dia lagi hamil, dok. Tolong selamatkan bayinya juga."

Dokter pria usia awal empat puluh menatap Dewa dengan kerut mengerti dari balik masker medis yang dikenakannya. Dibantu seorang suster wanita ia memasang infus dan alat bantu nafas pada Prajingga dilanjutkan mengecek beberapa tanda vitalnya.

"Maaf Mas, tapi luka Mas sendiri....." sang suster menatap ngeri darah yang mengalir dari pelipis sang Surya.

Tapi toh bukan itu prioritas Dewa. Abainya-lah yang ambil peran di sana. "Saya nggak apa-apa, nanti aja. Sekarang tolong fokus selamatkan kekasih saya dan anak kami. Tolong."

Miris, sejak kapan Dewangga Suryatama si dingin dengan mulut tajam bisa merendahkan diri memohon tolong dengan wajah berkaca memerah kalut penuh gulana.

Suara sirine semakin lirih seiring laju roda ambulance yang tak berputar lagi. Pintu belakang mobil putih tersebut dibuka dari luar, beberapa perawat pria sudah siap membantu menurunkan brankar Jingga sambil sang suster wanita yang setia memegangi tiang infusnya.

Emergency room rumah sakit tak terlalu ramai di kala siang. Tidak, sampai rombongan kecelakaan datang membawa empat korban dengan dua brankar yang masing-masing langsung jadi perhatian. Ramai, bising, semua sibuk dan mondar-mandir dengan cakap panik serta derap langkah menggema.

Jingga sudah dipindahkan pada salah satu brankar di IGD. Genggam eratnya pada jemari Dewa sudah lepas sejak beberapa tenaga medis mengerubungi untuk segera ambil tindakan menyelamatkan sang Lintang.

"Tolong selamatkan temen saya."

Deg.

Sreeett!!!

Suara tak asing di antara riuh bising membuat Dewa tak segan menyibak tirai hijau toska yang memisahkan brangkar Jingga dengan brankar di samping mereka.

RECTANGLE (Boys Love, Mpreg)Where stories live. Discover now