20. PERMINTAAN

7.1K 840 76
                                    

Ada berdiri cukup jauh dari makam Papa, melihat keluarga inti berdoa dan menabur bunga di hari kematian Papa. Ada sendiri juga memang membawa bunga dan lilin, tetapi ia tidak ingin merusak suasana keluarga inti yang tengah berdoa di makam itu. Mama memeluk lengan Ada dengan erat dan Ada bisa merasakan kekhawatiran menguar dari wanita paruh baya itu. Ada paham kekhawatiran Mama dan Ada yakinkan bahwa hal itu tidak akan terjadi di depan matanya sendiri. Ketika keluarga inti telah selesai berdoa dan menabur bunga, Ada menarik Mama untuk memenuhi giliran mereka.

Anggota keluarga inti itu langsung bubar dengan tatapan sinis mereka pada Ada dan Mama, termasuk Oma Agustin sendiri. Yang bertahan di situ hanya lah kuasa hukum setia Papa, Om Hardi. Ada tersenyum sopan pada Om Hardi dan dibalas dengan senyuman yang sama hangatnya. Ada memutari makam itu sambil menabur bunga kembang dan sesekali membersihkan rumput liar.

"Saya kira kamu sudah betah di Marriot," ucap Om Hardi dengan garis halus di wajahnya yang terlihat jelas, menandakan pria itu sudah waktunya pensiun.

"Betah," jawab Ada dengan senyuman tipisnya. "Tapi Ada juga kangen rumah sama Mama."

"Mengenai... kamu yang mengajukan diri... Oma Agustin nggak marah?" tanya Om Hardi perlahan-lahan, berusaha tidak melukai hati Ada.

"Marah besar, Om," balas Ada dengan senyuman jenakanya. "Tapi ya... Ada merasa berhak. Bahkan waktu itu, Ada dipaksa mengembalikan uang sepuluh miliar, kalau nggak Ada dipenjara. Katanya sih sepuluh miliar adalah uang sekolah Ada selama ini."

"Mereka sampai ngelakuin itu?" tanya Om Hardi syok. Ada mengangguk lemah dengan senyuman tipisnya.

"Mereka bilang jika sepuluh miliar adalah hutang sekolah kamu?" tanya Om Hardi lagi, berusaha memastikan. Ada mengangguk mengiyakan, tanpa berpikir dua kali.

"Katanya sih karena Ada bukan anak Papa," tambah Ada.

"Meskipun kamu bukan anak Papa sekali pun, kamu tidak memiliki hutang apa pun sama mereka, Ada, kecuali ya... memang uang SMA kamu. Tapi uang SMA kamu tidak sampai sepuluh miliar. Itu keterlaluan sekali loh," gerutu Om Hardi tidak percaya. Ada beberapa bagian dari kalimat Om Hardi yang tidak dimengerti oleh Ada, tetapi ia tetap berusaha mengiyakan.

"Menurut Ada, sepuluh miliar wajar sih, Om. Uang kuliah Ada emang semahal itu."

"Bukan Papa kamu yang membayarnya," potong Om Hardi membuat Ada menoleh bingung. "Darma Permai mulai pailit sejak kamu kuliah. Dan asal kamu tahu saja, kalau harus membiayai kuliah kamu yang semahal itu, yang ada Darma Permai benaran bangkrut."

"Siapa yang membayarnya?" tanya Ada kebingungan dengan rasa penasarannya yang besar.

"Jujur... saya tidak tahu, sebab saat perjanjian ini, mendiang Papa benar-benar mau melakukannya secara rahasia. Oma Agustin satu-satunya saksi perjanjian ini," jelas Om Hardi dengan helaan napas beratnya.

Ada mengerutkan keningnya bingung, tetapi sampai mati ia tidak akan bertemu lagi dengan Oma Agustin, apalagi hanya untuk menanyakan ini. Namun, jika benar ia hanya dibayari uang SMA saja, maka selama ini Ada ditipu?! Apa hal itu berarti utang Ada sebenarnya tidak sebesar itu pada keluarga Papa? Kemarahan perlahan mulai terbit dalam diri Ada.

"Jadi... saya ditipu?!" ucap Ada dengan nadanya yang naik.

"Tapi kan... nggak ada yang tahu kalau orang yang membiayai kamu kuliah juga ternyata sedang pailit dan akhirnya menagih uang itu ke kamu lewat keluarga Papa," jelas Om Hardi berusaha berpikiran positif.

"Tapi... itu nagihnya nggak manusiawi, Om!" ucap Ada dengan nadanya yang naik satu oktaf.

"Coba tanyakan Oma. Jujur, saya kurang tahu jawabannya," balas Om Hardi sambil tersenyum prihatin.

OFF TO THE RACESWhere stories live. Discover now