Bab 22

2 0 0
                                    

Keputusannya untuk pergi ke Jakarta sudah bulat, walau kedua orang tuanya tidak setuju akan hal itu tetapi Inez masih bersikeras. Nilam berusaha membujuk Inez agar mengurungkan niatnya, tapi semua itu sia-sia karena Inez  tetap pada pendiriannya.


“Biarkan saja Bu. Memang dia pikir hidup di kota itu mudah,” ucap Pak Edi.


“Ayah jangan bicara begitu,” jawab Nilam.



“Benar apa yang dikatakan ayah, kalau hidup di sana tidak mudah. Tetapi kalau aku pergi kalian tidak perlu malu lagi,” ucap Inez.



“Kamu jangan dengarkan ayah, ibu mohon tetap di sini,” pinta Nilam.


Inez tidak berkata apa pun lagi, dia segera melepaskan tangan Nilam yang sejak tadi menahannya agar tidak pergi. Dengan berat hati dia harus meninggalkan desa di mana tempat dia dilahirkan dan seluruh kenangannya.


Nilam begitu histeris melihat kepergian putrinya, tetapi tidak dengan ayahnya yang hanya menatap yang sulit di artikan. Sejenak Inez terdiam di ambang pintu sebelum menetapkan hatinya dan lalu beranjak pergi.



Inez merasa lelah karena tubuhnya semakin berisi di tambah kandungannya yang semakin membesar, dia memutuskan untuk singgah terlebih dahulu di salah satu warung yang ada di terminal sambil menunggu bis menuju ke Jakarta.


Terlebih dahulu dia memesan minuman sambil beristirahat, penjaga warung memerhatikannya tentu merasa tidak tega melihatnya yang terlihat sangat capek.


“Ini Neng,” ucap Penjaga warung itu seraya memberikan segelas es kepada dirinya.


“Terima kasih Bu,” jawab Inez.


“Sudah berapa bulan?” tanya Ibu itu sambil melihat ke arah perutnya.


“6 bulan Bu,” sahut Inez.


“Neng, sendirian saja?” tanya Ibu warung.


“Iya Bu,” jawab Inez.



Mereka mulai mengobrol bahkan sesekali Inez tersenyum, dirinya merasa beruntung bisa bertemu dengan ibu warung itu. Karena banyak memberi tahunya tentang kehamilan yang selama ini dia tidak pernah tahu.


Hingga tidak begitu lama bis yang ditunggu telah datang, tidak lupa Inez berpamitan sebelum dirinya pergi dari sana. Selama perjalanan Inez merasa sangat pusing, dia memutuskan untuk tidak demi menghilangkan rasa pusingnya.


Di tengah perjalanan bis berhenti di tempat istirahat, Inez tidak ikut turun dan memilih untuk tetap berada di dalam. Mengingat uang yang dibawanya tidaklah banyak oleh sebab itu dia harus menghemat.


Salah satu penumpang yang merasa tidak tega memberikan makanan kepadanya, awalnya Inez menolak karena merasa tidak enak. Tetapi penumpang itu memaksanya hingga mau tidak mau Inez menerimanya.


“Kira-kira, berapa lama lagi sampai Jakarta. Bu,” tanya Inez. Kepada penumpang yang memberikannya makanan.


“Sekitar 3 jam lagi,” jawab penumpang itu.


Inez langsung menghela napas panjang karena masih lama untuk sampai ke Jakarta, padahal badannya sudah terasa sangat lelah dan ingin segera merebahkan diri.


Waktu istirahat selesai bis kembali melanjutkan perjalanan, Inez mulai merasa tidak nyaman bahkan sesekali dia menahan rasa mulanya, setelah perjuangannya yang cukup melelahkan akhirnya dia tiba di terminal.


Untuk kedua kalinya dia menginjakkan kembali kakinya di kota, di mana perasaannya dan masa depannya hancur oleh Adit. Namun, semua perasaan itu Inez buang jauh-jauh karena kali ini dia datang untuk melanjutkan hidupnya bersama calon bayi yang ada di kandungannya.


Dia merasa bingung karena tidak ada tempat tujuan bahkan dia tidak mengenal siapa pun, dengan langkah yang tidak tahu arah dia berjalan cukup jauh dari terminal. Hari sudah mulai gelap dan tidak mungkin untuknya terus berjalan tanpa tujuan.

Dalam keadaan bingung tanpa sengaja dia melihat taman yang tidak jauh darinya, Inez segera berjalan ke sana untuk  beristirahat dan sambil memikirkan dia harus pergi ke mana.


“Aku harus ke mana? Mana sebentar lagi malam. Tidak mungkin aku tidur di sembarang tempat,” batin Inez. Dia merasa sedih karena tidak tahu harus pergi ke mana.


Sejenak dia termenung sambil kembali teringat ucapan ayahnya, bahwa tidak mudah hidup di Jakarta apalagi dirinya tidak mengenal siapa pun di sana. Dia langsung dompet yang ada di dalam tas, setidaknya dirinya bersyukur karena masih memiliki sedikit uang.


Inez mulai menghitung uang yang masih tersisa, setelah di rasa cukup untuk mencari tempat tinggal. Dia segera beranjak dari duduknya dan kembali berjalan sambil mencari rumah sewa. Langkah kakinya terhenti di sebuah warung yang bertuliskan ada kontrakan kosong, dengan perasaan lega dia segera menghampirinya.


“Permisi,” ucap Inez.


“Iya Mbak, mau beli apa?” tanya pemilik warung.


“Tidak Pak, saya mau menanyakan. Apa benar di sini ada kontrakan kosong?” jawab Inez.


“Betul Mbak,” sahut pemilik warung itu.


“Kira-kira berapa Pak?” tanya Inez. Dia sangat takut jika harga sewanya mahal.


“800 ribu Mbak,” jawab pemilik warung itu.


“Boleh saya liat dulu, Pak?” tanya Inez.


“Boleh, sebentar saya ambil kuncinya dulu,” jawab pemilik warung.


Tidak lama pemilik warung itu datang dan segera mengajak Inez untuk melihat rumah kontrakannya, merasa cocok Inez setuju dengan harga sewanya. Mengingat bahwa dirinya orang baru pemilik warung sekaligus kontrakan itu meminta data  sambil menanyakan keberadaan suaminya.


Seketika Inez bingung mengingat dirinya belum menikah, bagaimana dia mempunyai suami tapi hal itu wajar mengingat keadaannya sekarang sedang mengandung. Pasti orang di luar sana juga akan menanyakan hal yang sama. Dengan terpaksa di berbohong agar bisa di terima untuk menyewa di sana dan dia merasa bersyukur karena pemilik warung tidak mempersulitnya.














Cinta Terhalang RestuWhere stories live. Discover now