Dearest Sunflower and Its Replica

10 3 3
                                    

Kami cukup lama menari di bawah hujan pasir yang terus menghitung detik demi detik. Kala itu, senantiasa aku memandangnya selagi menikmati tempo seirama yang kami ciptakan bersama.

Lantas ia memberanikan diri melakukan hal serupa, bersama tatapan penuh binar yang mengalahkan kemilau dari pancaran sinar mentari. Tepat ia menuntunku, bertambah lebar pula senyumnya, amat persis bagai hangatnya suhu udara di musim semi.

Ah, salahkah jika aku menuntut hujan pasir untuk berhenti barang sebentar? Betapa besar harapan yang kurajut dalam hati, maka dengan begitu aku bisa menikmati lebih lama setiap langkah melukiskan suka duka yang tak ternilai harganya.

Alih-alih menuntut hujan pasir, apakah lebih baik aku berandai-andai? Ya, barangkali jika tak pernah kudengar nyanyian muram kumpulan gagak yang begitu mengganggu indra pendengar, kupikir kami bisa terus berdansa seperti ini.

Demikian ia tidak akan pernah terpecah hingga porak-poranda, tak lagi utuh dan berhambur memenuhi sekitarku. Pun, mampu kunikmati lebih lama cahayanya di sela-sela langkah dan gerakan yang kami rangkai.

Bersama sepasang Mawar Merah telanjur ia tenggelam dalam tumpukan pasir, menghantuiku dengan duka dan luka tak kasat mata yang tak pernah mampu disembuhkan. Rajutan penuh harap itu telah rusak, berikut luluhlantak sudah hasrat membangun istana kedamaian dalam kehidupan fana seolah ia merupakan satu-satunya sumber kegembiraan yang kumiliki.

Butuh bertahun-tahun menyembunyikan luka itu. Sampai pada akhirnya kau hadir dengan wujud yang mampu menyeruak masuk membuka kembali rasa sakit yang kusimpan begitu lama.

Aneh, tetapi ingin rasanya kubiarkan kau terus bertumbuh, tak peduli seberapa keras diriku menahan rintihan. Aku terus bertahan sembari terus memandangmu melalui cermin, dengan demikian aku bisa terus menyadarkan diri bahwa kau bukan bunga matahari yang sama.

Berakhir diriku membalikkan badan, memastikan kebenaran firasatku atas segala-galanya. Namun, belum juga aku meneliti, lebih dulu kau tarik diriku dan menuntun langkah menciptakan lukisan-lukisan baru untuk disimpan di dalam memori.

Aku menerawang di sela-sela suka dan duka seiring hujan pasir yang terus menghujam, lantas melantun nada getir di dalam tawa ketika menemukan apa yang sedang kutelusuri; cahaya dari kemilaumu, juga kehangatan yang kau pancar. Betapa hatiku mengagumi semua itu, hingga tanpa dirasa telah kita kitar satu putaran menjahit luka yang sempat kembali menganga.

Sementara dengan teramat keterlaluan dikau menganggapmu sebagai ngengat yang senantiasa mengagumi keindahan rembulan. Bahkan kau rela membuang jati diri guna mendapat izin untuk bersanding dengannya, katamu. Tidakkah kau pikir betapa kejamnya kau terhadap diri sendiri?

Konon segala hal yang kau miliki terlampau berharga untuk dibuang, patutkah demikian diriku bisa memandangmu sebagai tiruan dari bunga matahari yang terkasih? Kini tak lebih sendu yang kuarahkan kepadamu atas dasar rencana yang tak pernah kuminta, bertanya-tanya dalam hati, haruskah kita berbahagia di atas sandiwara?

Sayangku, pengorbananmu kala meraihku yang penuh duri bahkan sudah teramat cukup. Jika kau melakukan hal lebih dari itu, bagaimana sepatutnya aku memantaskan diri untuk mencintaimu?

~*~*~*~*~

Akira Kurihara wafat karena bom di kursi penonton yang didudukinya. Saat itu, Kirika merasakan kehilangan teramat sangat.

Hadirnya AK-25 membuat perasaan bersalahnya meningkat tepat android yang nyaris menyamai sosok sahabatnya itu berkata ia bersedia hidup sebagai Akira Kurihara. Ini memicu sisi insecure Kirika, lantas merasa bahwa ia sama sekali tidak patut untuk dicintai oleh siapa pun sebab ia pula menerima terlalu banyak kebaikan dari mereka sehingga tidak tahu bagaimana cara membalasnya dengan benar.

Anak cantik juga memiliki rasa tidak percaya diri, ya. Padahal para pembaca pasti selalu merasa bahwa mereka merupakan pasangan yang cocok. Ya, 'kan? :<

Metaphor Draftحيث تعيش القصص. اكتشف الآن