31. Misi Berhasil

29 6 0
                                    

Benedict mengamati Elise yang menggelar mantelnya dekat perapian. Sorot pipinya diterangi nyala api, menambah kesan misterius yang magis.

Pria itu menikmati ocehan Elise tentang Parlemen Brittany. Ia makin kagum karena gadis itu punya wawasan yang luas tentang politik, jauh berbeda dengan semua gadis yang pernah Benedict temui.

Elise, gadis yang menarik.

Sayangnya, imaji itu hancur seketika saat tirai disibak dengan kasar. Nicholas berada di sana. Nicholas, anggota dewan bangsawan yang paling mengesalkan, selalu membantah Benedict dalam setiap rapat parlemen, mematahkan argumennya, dan menggagalkan ide yang seharusnya dimenangkan.

Untuk apa dia ke sini? batinnya.

Lelaki itu melangkah masuk tanpa diundang. Sesaat mata mereka beradu. Nicholas yang berdiri tampak menjulang di hadapannya yang berlutut dengan satu kaki. Mempertegas perbedaan status di antara keduanya.

Benedict dan Elise langsung berdiri bersamaan. Seketika aura di ruangan tersebut menjadi berbeda. Aura yang jauh dari kata nyaman. Benedict tak peduli dengan basa-basi Nicholas. Ia hanya ingin makhluk tak diundang itu segera menyingkir dari sana.

"Elise, kau dipanggil ayah. Sekarang."

Benedict terkejut. Ia menatap Elise dan Nicholas bergantian. Berbagai pertanyaan bergejolak dalam kepalanya.

Apa hubungan mereka? Kenapa Nicholas menyebut kata ayah di depan gadis itu? Bukankah nama keluarganya Manette, bukan Lambert?

Benedict kembali menatap Elise yang tampak gugup. Ia sangat berharap Elise tetap berdiri di sana dan mengabaikan Nicholas. Namun, gadis itu justru berdiri dan bertanya, "Benarkah? Lalu di mana papa sekarang?"

Saat itu juga Benedict kecewa.

Apa Elise mencoba membohongiku? Aku pernah dengar isu bahwa Comte de Lambert memiliki anak selain Nicholas dan adiknya. Apa mungkin itu gadis yang berada di depanku saat ini?

"Dia ada di ballroom, sisi kanan dari tangga," jawab Nicholas.

Hening sejenak. Elise menoleh ke arah Benedict dengan rasa tak enak.

"Maaf, Benedict. Aku harus pergi."

Pria itu tak mengangguk ataupun menjawab. Kalimat Elise terdengar samar-samar seperti angin. Kini ia hanya terpaku seperti orang bodoh, menatap punggung Elise yang menjauh dengan langkah kaki tergopoh-gopoh.

Apa dia sini? Terus mengapa dia mengaku sebagai Manette?

"Maaf mengganggu keakraban kalian berdua."

Benedict berdiri. Kini mereka sejajar dan sederajat.

"Kelihatannya kalian sangat akrab, padahal baru bertemu." Nicholas mengusap dagunya sambil menilik ekspresi pemuda di depannya seperti melakukan penilaian.

"Selera yang bagus. Kalian terlihat sangat sederajat, sesama orang rendahan."

Benedict sedikit kaget dengan kalimat itu. Mengapa Nicholas merendahkan Elise?

"Kalau kau mengira kami bersaudara, kau salah. Dia hanya orang asing di rumahku. Manusia terlantar yang dianggap ayahku sebagai keluarga."

Nada suaranya terdengar merendahkan. Benedict tidak suka ini. Kalimat tersebut cukup kuat untuk menambah rasa tidak sukanya terhadap Nicholas. Putra Comte ini memang terkenal angkuh, apalagi dengan jabatan barunya sebagai kepala sindik (divisi) pajak. Dalam setiap rapat, hampir selalu terjadi perdebatan di antara mereka dalam pembuatan kebijakan. Semua usul Benedict ditolak, termasuk menyediakan lumbung gandum untuk rakyat, pengurangan pajak, dan bantuan sosial untuk keluarga tidak mampu.

"Tapi sejauh yang kulihat, kalian akrab sekali dalam pertemuan pertama ini. Sayangnya, ayahku mungkin akan menjodohkan Elise dengan orang lain."

Benedict membuang wajah. Perasaan hangat yang baru bertunas di hatinya kini layu sebelum tumbuh dan berkembang. Nicholas memang ahli dalam mematahkan hati seseorang.

"Baiklah. Aku masih harus mengurus tamu lainnya. Jadi, dengan berat hati aku harus meninggalkan dirimu." Nicholas melepaskan topi dan meletakkannya di dada, lalu pura-pura membungkuk hormat sebelum pergi meninggalkan ruangan. Benedict hanya bisa menghela napas panjang. Pandangannya beralih pada jendela, ke arah langit malam.

Sementara itu, Elise yang terpaksa meninggalkan ruangan kini melangkah ke arah tangga. Ia bisa melihat kepala Alexandre dari lantai dua, tepat berada di sisi kanan tangga. Ia pun menuruni tangga dengan cepat, tak ingin membuat ayahnya menunggu terlalu lama. Namun, pada tiga anak tangga terakhir, ia berhenti tiba-tiba. Alexandre memang ada di sana. Berdiri santai sambil berbincang dengan seseorang. Namun, dari punggungnya saja Elise tahu bahwa itu adalah Marquess, orang yang sangat ingin ia hindari malam ini.

Oh, tidak! Aku harus naik lagi sebelum papa melihatku!

Lonceng jam berdentang dua belas kali, menandakan pergantian tahun 1788. Elise langsung memutar tubuh. Ia segera mengangkat roknya hingga betis dan menaiki tangga dengan cepat. Tak peduli orang lain akan menilainya seperti apa. Ia hanya ingin menjauh dari orang yang membuat Nona Manette dihukum mati. Titik!

Elise memilih kembali ke ruangan di balik tirai. Ia yakin Nicholas pasti tak betah di sana, jadi ia bisa kembali mengobrol dengan Benedict. Sayangnya, saat tirai tersibak, Elise hanya menemukan kesunyian. Teman barunya sudah pergi.

"Pasti Nicholas sengaja memanggilku. Huh! Padahal aku sudah berusaha lepas dari Brigitte, eh sekarang kakaknya yang mau merusak rencanaku."

Pandangan Elise beralih pada jendela. Ia berjalan mendekat dan mengamati area halaman depan dari atas. Ada sebuah kereta kuda bagus yang berhenti di depan rumahnya. Pintu dibuka oleh salah satu pelayan. Seseorang berjalan ke sana, lalu masuk ke dalam kereta bernuansa emas itu.

Elise tersenyum lebar. Ia benar-benar lega ketika melihat kereta kuda Marquess bergerak meninggalkan pintu gerbang château. Akhirnya ia berhasil! Masalah utama dari kisah tragis Nona Manette sudah terputus! Jika Elise tidak bertemu dengan Marquess, tidak akan ada pernikahan, tidak akan ada pembunuhan, dan dirinya tidak akan dijadikan sebagai pelaku utama.

Kali ini aku mengambil langkah untuk mencegah takdirku dan rangkaian peristiwa yang terjadi tak sama seperti mimpi burukku. Aku selamat. Aku berhasil mengubah nasib Elise Manette, Apa aku bisa kembali ke duniaku setelah ini?

Elise menaikkan kedua sudut bibirnya. Ia akan bersiap untuk pulang. Ia membayangkan dirinya kembali ke apartemen dan kuliah seperti biasa. Ia akan bertemu dengan ayah, ibu, dan Tante Amelie. Kawan-kawannya juga pasti akan menyambut kedatangannya dengan gembira. Elise benar-benar tidak sabar.

Lalu, bagaimana dengan Olivier? Bukankah ia berjanji untuk datang nanti malam? Maaf, Olivier. Kupikir aku mulai menyukaimu, tetapi hubungan seperti ini sangat mustahil. Aku harus mengakhirinya dengan cepat sebelum terlambat.

Olivier, semoga kita sempat bertemu, setidaknya untuk perpisahan.

- BERSAMBUNG -

La Vie en Rose (Revisi)Onde histórias criam vida. Descubra agora