Prologue: Mortem

367 32 15
                                    

Bonjour!
Selamat datang.

Warning:
Mengandung gejala anxiety disorder

****

Prologue:
Mortem

(Kematian)

***

Apa yang akan kau lakukan jika kematian terasa begitu dekat?

Sinar mentari mengintip dari sela-sela sel. Tubuh Elise makin gemetar saat ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia merapatkan punggungnya pada tembok, berusaha mencari celah untuk melarikan diri. Namun, semuanya nihil.

Pintu sel dibuka dari luar. Seorang penjaga masuk dengan langkah kaki tegap. Ia mengeluarkan sebuah kertas panjang dan menyebutkan deretan nama di sana dengan suara lantang yang memekakkan telinga.

Apa hari ini giliranku untuk mati?

Elise terus meringkuk di sudut ruangan. Tak peduli jika dinding batu yang dingin itu menembus kulitnya. Tak peduli jika lantai yang lembap itu mengotori kakinya. Ia gemetar oleh bayang-bayang maut yang terus mendekat. Ia ingin pergi, tetapi tak ada tempat bahkan untuk bersembunyi.

Kemarin aku lolos. Namun, apa hari ini giliranku untuk mati?

Elise kembali memeluk dirinya sendiri. Sejak berada di sini, ia selalu terbangun pada malam hari. Ia benci karena tidurnya selalu ditemani mimpi buruk. Setiap menit ia selalu dihantui oleh rasa takut, dalam batas yang melebihi perasaan apa pun di dunia ini. Seumur hidup, untuk pertama kalinya ketakutan menjelma menjadi kengerian yang tak terperikan.

Setiap kali bayangan kematian datang, ia tak lagi memiliki keinginan apa-apa. Makanan terasa hambar di mulutnya. Bau apak dan pesing tak ada bedanya. Setiap menit, ia hanya meraba jantungnya sendiri sambil bertanya-tanya bayang kapan ia akan dipanggil untuk mati. Setiap detik, ia terus memeriksa napasnya sendiri, seolah paru-parunya berhenti bekerja jika ia lupa mengatur napas.

Kematian adalah misteri. Namun, di sini, kematian adalah permainan takdir. Ia tak diberitahu kapan ia dijadwalkan akan mati. Ia hanya dibiarkan untuk terus bertanya-tanya tanpa henti.

Proses pemanggilan belum berakhir. Selama itu pula, Elise memejamkan mata rapat-rapat. Jantungnya berdebar cepat. Napasnya sesak. Lambungnya bergejolak. Kepalanya berputar-putar. Ia berusaha untuk tak memedulikan langkah kaki orang-orang yang dipanggil lebih dulu. Langkah kaki yang berat, terseok-seok, dan tak bernyawa, seolah pemiliknya tak percaya bahwa giliran mereka telah tiba. Namun, waktu tak bisa menunggu. Dalam hitungan menit, langkah kaki itu berubah menjadi diseret dengan cepat dan penuh paksaan.

Bayang-bayang guillotine kembali menghampiri. Rasanya Elise bisa mendengar suara bilah pisau yang jatuh, orang-orang yang bertepuk tangan, dan suara genderang yang bertalu-talu. Sebuah perayaan kematian atas nama revolusi. Sebuah keadilan atas nama kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan.

Elise menutup telinga. Tidak, ia tak boleh terpengaruh. Ia tidak boleh mendengarnya.

Tuhan, kumohon. Aku tidak ingin mati di sini. Aku cuma ingin pulang.

Bulir-bulir air mata terus membasahi pipinya. Sungguh, ia hanya memiliki satu permintaan yang sederhana. Sangat sederhana. Namun, impiannya terlalu megah untuk menjadi nyata.

"Nomor 50!"

Elise terus merapal doa. Nomor 50, korban terakhir untuk hari ini. Ia masih punya harapan. Ia masih punya masa depan.

Jangan aku, kumohon ... jangan aku.

"Elise Manette!"

Elise tersentak. Saat itu pula, ia gemetar. Suara pisau guillotine, gemuruh genderang, dan sorak-sorai penonton terngiang di telinganya.

Apa kematianku secepat ini?

- BERSAMBUNG -

Glosarium
Guillotine : mesin hukuman penggal kepala di Prancis yang menjadi simbol revolusi, digunakan secara resmi sejak tahun 1792 sampai 1977.

La Vie en Rose (Revisi)Where stories live. Discover now