47. Bahaya Mendekat

23 6 1
                                    

"Elise?"

Gadis itu terkesiap.

"Ya, Benedict?"

"Apa yang kau pikirkan? Kau hanya melamun sejak tadi." Benedict bertanya dengan nada khawatir.

"Bukan apa-apa. Sungguh."

Aku harus bersikap biasa. Jika tidak, dia pasti curiga, batin Elise.

"Elise ... Apa kau ... hmm ..." Lelaki itu tampak linglung. Sesekali ia mengusap ujung hidungnya untuk mengatasi rasa gugup. Benedict yang biasa orasi dan menyihir banyak orang kini tampak salah tingkah di depan Elise!

"Katakan saja, Benedict."

"Apa kau ada acara besok malam? Aku ingin mengajakmu menonton opera."

Elise terhenyak.

Opera? Ini memang bukan hal yang pertama bagi Elise. Namun, ada sesuatu yang membuatnya tergelitik.

Aku cuma pernah menonton opera tahun 2019. Kira-kira seperti apa Opera tahun ini? Aku penasaran. Ini pasti bakal jadi pengalaman tak terlupakan.

"Menarik," jawab Elise. Sebisa mungkin ia menahan rasa antuasiasnya yang menggebu-gebu.

Benedict tersenyum. Rasa gugupnya berubah menjadi kelegaan. Bahkan ada luapan kegembiraan di wajahnya.

"Baiklah. Aku akan menjemputmu besok malam. Au revoir, Elise."

Benedict meraih tangan Elise. Sebelum gadis itu bereaksi, lelaki itu mencium punggung tangannya dengan lembut. Sangat lembut. Berbanding terbalik dengan tatapan matanya yang tajam dan menghunus jantung. Elise terkesiap.  Tatapan Benedict adalah tatapan mendamba. Tatapan ingin menaklukkan. Tatapan yang membuat gadis mana pun menahan napas.

Bahkan saat lelaki itu berjalan menjauh, Elise tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Ciuman itu berlangsung kurang dari semenit, tetapi perasaannya porak-poranda dalam sekejap mata.

Apa yang kau pikirkan, Elise? Baru beberapa hari lalu kau tertarik pada Olivier. Sekarang kau malah bimbang pada Benedict?

Tapi apa yang bisa diharapkan dari hubungan yang dilandasi oleh kebohongan? Olivier memang kaya. Namun, dilihat dari segi mana pun, sebenarnya Benedict unggul dalam banyak hal. Dia seorang sarjana, anggota parlemen, dan salah satu orang berpengaruh di Rennes. Dia bahkan lebih unggul dari Jerome.

Dulu, cinta monyetnya pada Jerome tak lebih dari cinta yang bertepuk sebelah tangan. Namun, di dimensi ini, ia justru berjumpa dengan versi lain dari Jerome. Versi yang jauh lebih baik. Apalagi Benedict menyukainya! Dicintai oleh orang sekeren Benedict itu membanggakan, bukan? Elise tak perlu malu bergandengan tangan dengan lelaki itu ataupun berdansa di pesta. Benedict adalah sosok pria yang sempurna.

Olivier sudah mengkhianatiku. Bahkan kemungkinan besar aku akan mati di tangannya. Aku harus punya pegangan untuk bertahan. Jika aku memberikan kesempatan pada Benedict, aku bisa aman. Dia kan anggota dewan Tiers État. Dia pasti bakal jadi tokoh revolusioner di masa depan.

Berawal dari pertunjukan opera, Elise dan Benedict makin akrab. Mereka seringkali berjalan bersama, meski disambut dengan cibiran dari Brigitte dan Nicholas. Berkat Elise, perlahan Alexandre mulai menerima kehadiran Benedict. Mereka mulai berbincang lebih hangat dibandingkan sebelumnya. Pembawaan Benedict yang dewasa berhasil membuat pria itu terkesima. Di luar perbedaan pandangan politik, tak ada celah yang ditemukan dari anggota dewan muda itu.

Sayangnya, Elise lengah. Ia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri sampai tak sadar bahwa peristiwa besar yang ia takutkan mulai bergulir.

Bulan Mei 1788 sesuatu yang tak biasa terjadi. Nicholas dan Alexandre pergi seharian tanpa kabar. Elise merasa ada yang tidak beres. Sampai pukul 11 malam, ia terus menunggu dengan perasaan was-was. Elise memang tak peduli pada Nicholas, tetapi ia tak mungkin secuek itu pada ayah angkatnya Elise Manette. Apalagi saat teringat demonstrasi di depan gedung parlemen tempo hari dan berita kelaparan yang menjadi berita utama koran, ia makin waspada.

Tepat pukul 00.00, terdengar suara derak roda kereta kuda. Elise mengintip dari jendela kamarnya. Pintu kereta dibuka. Nicholas dan putranya keluar dari kereta dengan wajah lelah.

Tumben Nicholas tidak mabuk, batin Elise.

Gadis itu bergegas turun dari tempat tidur. Ia berjingkat-jingkat menuruni tangga. Di rumah ini, politik menjadi urusan laki-laki. Beberapa kali Elise mencoba terlibat, pada akhirnya ia tidak diindahkan oleh Alexandre. Jadi, mencuri dengar adalah solusi terbaik.

Siapa tahu ada info penting yang harus kutahu.

Dari balik dinding, Elise melihat ayah dan anak itu duduk di sofa setelah melepas mantel. Pelayan mengambil mantel keduanya dan segera pergi setelah diberi isyarat.

Pasti ada hal penting.

Wajah Nicholas tampak memerah. Napasnya memburu tanda marah. Elise belum pernah melihat lelaki itu seperti ini.

"Tidak masuk akal! Tiba-tiba mereka datang dari Paris cuma untuk mengurangi hak kita!"

"Tenang, Nicholas. Kita masih punya waktu untuk membahasnya."

"Kau harus menolaknya, Ayah. Hak istimewa bangsawan Rennes adalah harga mati. Tidak ada pihak mana pun yang boleh menghapusnya, termasuk Paris sekalipun."

Elise menajamkan pendengaran. Ia memperhatikan baik-baik setiap kalimat yang dilontarkan sang Comte dan putranya. Penghapusan hak istimewa bangsawan? Apa kondisi di Paris begitu buruk sampai harus mengeluarkan peraturan itu?

Kalau hak istimewa dihapus, bagaimana nasib Monsieur Alexandre selanjutnya? Elise membatin. Ia menatap langit-langit château dengan tatapan nanar.

Apakah kami akan terusir dari rumah megah ini, atau ada hal yang lebih buruk lagi?

- BERSAMBUNG -

Maaf ya babnya pendek. Author lagi writer's block. Semoga teman-teman masih bersedia mengikuti kisah Elise selanjutnya.
Je t'aime
Merci

La Vie en Rose (Revisi)Where stories live. Discover now