5| Satu Atap

226 30 11
                                    

Kepada pemilik diriku yang Sesungguhnya.
Kepada pemilik jiwaku yang bagai debu.
Tolong aku, agar aku bisa segera melupakannya.
Pada yang menganggapku hanya angin lalu.

***

RUMAH bergaya mininalis yang Adnan beli secara cash dari hasil menabungnya menjadi seorang Dokter, kini harus ia tinggalkan. Tidak, Adnan tidak berniat menjualnya. Dia hanya akan menuruti kemauan Aidan untuk menikahi Humaira. Dan kini, Humaira meminta mereka untuk tinggal bersama.

Meski alasannya aneh, Adnan berusaha mungkin mempercayainya. Kemungkinan besar, akan aneh jika perut Humaira membesar tanpa seorang suami di sisinya. Apa kata orang-orang di sekitarnya?

Rumah itu Adnan titipkan pada sepasang suami istri yang bekerja di rumah itu sebelumnya. Sang suami seorang tukang kebun dan istrinya yang membantu Adnan membersihkan rumah juga memasak. Segala keperluan akan selalu Adnan penuhi setiap bulan. Rumah itu juga terpasang CCTV yang tersambung langsung ke ponsel pribadinya. Jadi, Adnan merasa lebih tenang meninggalkan rumahnya untuk beberapa saat.

Benar, 'kan?

Begitu Humaira sudah bosan padanya, Adnan akan kembali ke rumah ini dan hidup seperti awal sebelum bertemu Humaira.

“Bibi masih nggak percaya Mas Adnan sudah menikah. Kenapa nggak dibawa ke rumah saja istrinya?”

Normalnya memang begitu. Seorang istri akan dibawa ke rumah suaminya. Tatkala istri tidak mau tinggal bersama dengan mertua, seorang suami wajib memberinya tempat tinggal meski mengontrak. Adnan tersenyum pada Bibi Dinar. “Lebih dekat ke rumah sakit dari apartemen istri saya, Bi. Nanti kalau dia mau, saya ajak kesini ya.”

Bibi Dinar dan suaminya mengantar Adnan pergi hingga mobil yang dikendarai Adnan menghilang dari pandangan.

Adnan mengabari Humaira bahwa ia sudah akan sampai beberapa saat kemudian. Ia membawa baju-bajunya beberapa, laptop, dan juga buku-buku yang belum sempat dibaca. Adnan memang memiliki hobi membaca buku, apalagi tentang dunia medis. Di perjalanan, Adnan membeli martabak manis untuk Humaira. Entah wanita itu menyukainya atau tidak.

Sesampainya di apartemen, Humaira menyambut Adnan. Keduanya merasa canggung. Adnan memberinya martabak yang dibelinya, Humaira menatapnya berbinar.

“Beneran buat saya?”

“Iya? Emang buat siapa lagi?”

“Makasih.” Humaira menunjuk lemari yang sudah ia kosongkan, “taroh barang-barang kamu disini.”

“Disitu ada meja belajar. Kamu butuh buat kerja, nggak? Saya nggak pake.”

Adnan membuka kopernya terlebih dulu. Merapikan kemeja dan baju serta dalamannya disana. Agak malu karena di sebelahnya ada dalaman Humaira juga. Pipi Adnan memerah. Kemudian, laptop dan buku-buku ia taruh di meja. Meski tidak sebesar meja kerja di rumah atau di duma sakit. Setidaknya itu cukup nyaman.

“Udah makan malam? Pasti belum, kan?” tanya Humaira.

Adnan mengangguk.

“Mau makan apa?”

“Kamu bisa masak?” Adnan balik bertanya.

“Kalau cuma goreng-goreng saya bisa.” Humaira menjawab dengan cemberut. Sebagai seorang perempuan, seperti kodrat harus dipastikan bisa memasak setelah menikah.

Humaira agak menolak dengan peraturan tersebut. Sebagai wanita, kodratnya hanya tiga yaitu menstruasi, melahirkan, dan menyusui. Masalah bersih-bersih rumah tangga suami pun bisa melakukannya. Tetapi, di zaman sekarang seperti hal lumrah suami hanya wajib bekerja. Jika bekerja, seorang istri pun bisa di era modern sekarang.

Suami PenggantiWhere stories live. Discover now