2. Pria Putih Salju

6 3 0
                                    

"Dalam sebuah dongeng, ada seorang putri yang dikenal dengan kulit seputih salju. Ia terlelap ketika memakan apel beracun. Lucunya, aku memiliki kisah serupa dengan putri tersebut, tetapi tidak dengan nasib kami ... aku lebih malang dibandingkan dirinya."

-Aldian Brasatya 

***

Upacara penyambutan tahun ajaran baru akan segera dimulai, tetapi Siswa-Siswi Kelas IV A masih berselisih perihal siapa yang akan berbaris di depan. Sebab pidato pasca libur panjang, pastilah akan memakan waktu.

Kinan yang diimbaukan untuk maju ke depan, malah keluar dari barisan. Ia mengomel tak terima, "Nanti kulitku hitam, kalau terpapar sinar matahari lama-lama."

"Aldian yang putih gak tertolong saja berani berbaris di depan," sahut Bimo. Posisinya berada tepat di samping sosok yang menjadi bahan perbincangan mereka.

"Justru karena putihnya permanen, dia gak perlu khawatir bakal hitam, Bim," sanggah Kinan seraya meyelisik ke arah Aldian. "Lagian, tumben sekali dia mau di depan."

Tentu saja itu bukan kehendaknya sendiri. Dia dibujuk oleh Dio dan Bimo untuk berbaris sama rata, sebagai saksi bisu bahwa ketiganya telah berdampingan selama tiga tahun. Namun, perlakuan buruk mereka tidak bisa pula dikatakan sebagai teman.

"Gak perlu bahas barisan laki-laki. Ini anak perempuan, gak ada yang mau di depankah?!" sela Dio dengan geram. Sebagai pemimpin barisan, ia sangat kualahan mengatur mereka.

Masing-masing kelas memiliki empat barisan. Namun, satu barisan perempuan pada Kelas IV A belum terisi semua. Biasanya, Ana akan berdiri di depan bersama Caca, tetapi kali ini gadis itu tengah menyapu kelas sendirian. Ia pun bertanya-tanya "Kenapa Ana harus piket kelas? Bukannya jadwal belum di atur ulang, ya?"

Dari barisan terbelakang, sekretaris kelas di tahun sebelumnya pun menyahut, "Ana sendiri yang mau, kok."

Jawaban itu membuat Caca kembali bungkam. Namun, sudah menjadi rahasia publik bahwa Odelia sering memperbudak Ana. Jika tidak menurut, maka dia akan lebih dirundung. Persis seperti yang Aldian rasakan saat ini.

Bunyi bel kini terdengar, menjadi pertanda dimulainya upacara. Bersamaan dengan itu, Ana datang dari arah belakang dengan berlarian. Lantas masuk di barisan tengah, yang diapit oleh Caca dan Aldian. Ia tersengal-sengal, "M-maaf ... aku telat," ujar Ana sembari menepuk bahu keduanya.

Aldian terkesiap saat mendapat sentuhan refleks itu. Tangan yang digunakan untuk menghalau sinar matahari, kini beralih mengelus dada. Membuat Ana lantas merutuk, "M-maaf, aku gak sengaja." Ia pun menjauhkan tangan dari pundak lelaki itu.

Ana pastikan Aldian akan mengabaikannya, atau hanya membalas dengan anggukan. Ia hafal dengan bahasa tubuh Aldian yang terbatas, karena kerap memerhatikan laki-laki aneh itu sejak dirinya sering dirundung. Ana merasa jadi memiliki teman senasib.

Secara mengejutkan Aldian berpaling ke arah Ana seraya tersenyum tipis, kemudian tatapannya kembali diarahkan ke depan. Ana terperangah. Ia 'tak menyangka akan mendapat tanggapan demikian.

"Jangan sering minta maaf, Na," ungkap Caca, seolah tahu apa yang ingin disampaikan Aldian.

"Iya maaf. Gak lagi, deh," rutuk Ana. 'Tak mau terus terpaku dengan kesalahannya, dia pun beralih mensejajarkan posisi dengan keduanya.

"Baru saja kamu minta maaf lagi, loh." Caca tampak gemas, sekaligus terenyuh dengan sopan santun berlebihan dari Ana.

Tingkah keduanya membuat Aldian tertawa kecil. Suara lembut lelaki itu pun mengalun di telinganya. Ini kali pertama Ana mendengar suara lelaki itu. Sejenak, ia terpaku menatap Aldian, yang tengah menghormati bendera.

Konstelasi Baru Vol.01 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang