Minggu - Bagian 2

35 9 0
                                    

Nyatanya, antrean untuk naik di Tokyo Skytree sudah sangat panjang. Takurō menjadi mempertanyakan, "Zahira, apakah kamu yakin mau naik? Orangnya sangat banyak."

"Tidak juga," elak Takashi. "Lihatlah, antreannya cepat bergerak walau panjang. Kalau menunggu sekitar setengah jam, kita bisa naik ke atas."

Perhitungan Takashi hampir tepat. Mereka menunggu 40-an menit sehingga Zahira dan Takashi dapat masuk ke lift untuk naik ke tempat pengamatan. Akhirnya, mereka di atas. Zahira terperangah kagum melihat pemandangan dari atas. "Wow! Aku jadi paham mengapa banyak orang mengantre ke sini."

"Yah, meskipun pemandangannya hanya perkotaan, tapi kami memang tidak bisa tahan untuk mengagumi kota kami sendiri," Takashi beropini.

"Apakah kita bisa melihat rumahmu dari sini?"

Takashi mendengus lalu menggeleng. "Rumah kami terlalu kecil untuk terlihat dari sini."

"Takashi, apa itu? Mengapa ia terlihat seperti...," Zahira memelankan suaranya, "... feses?"

Takashi melihat ke tempat yang ditunjuk Zahira lalu tertawa. "Itu? Yang seperti feses emas? Itu sebenarnya patung untuk menggambarkan buih bir." Takashi ikut menunjuk sambil menjelaskan patung buih bir di atas sebuah gedung yang terlihat dari tempat pengamatan Tokyo Skytree. "Itu Asahi Beer Hall—Gedung Bir Asahi. Itu memang tempat perusahaan bir. Selain menggambarkan buih bir, itu juga bisa menggambarkan api semangat. Periklanan bir, macam begitu."

Zahira mengangguk mengerti. "Begitu, ya? Takashi, kalau umurmu sudah mencapai 20 tahun, apakah kau akan minum bir?"

Takashi tertawa lagi. "Aku tidak tahu. Kakakku bukan peminum bir. Dia lebih suka minum anggur. Saat dia sudah berusia 20 tahun, dia minum vermouth[1] untuk merayakannya."

Zahira menggangguk kembali. Mungkin Kak Takurō minum di hotel. Zahira menjadi mengagumi sendiri patung buih emas itu. Zahira pun berpikir bahwa itu tadi adalah saat Takashi benar-benar tertawa lepas, sesuatu yang sebelumnya ia duga tidak bisa terjadi pada Takashi.

"Kalau kau tidak memberitahuku itu gedung perusahaan bir, aku pasti berkesimpulan itu gedung perusahaan toilet," kata Zahira.

Kali ini, Takashi kembali dibuat tertawa. Namun, tawanya lebih cepat berhenti daripada yang sebelumnya. "Kamu jangan bercanda."

Sekilas, Zahira tersenyum senang. Takashi pun berkesimpulan bahwa Zahira sedang mengagumi pemandangan dari jendela pengamatan Tokyo Skytree. Setelah beberapa menit, Takashi berkata, "Zahira, aku harus bilang sesuatu."

"Apa?"

Takashi menghela napas. "Aku terpikirkan kata-katamu selumbari Jumat di kafe Akihabara. Aku cuma bisa mengucapkan, maaf, aku belum bisa menyukaimu sedalam itu kalau waktu yang diberikan kepada kita hanya seminggu."

Zahira mengangkat alis. "Aku tidak bilang kalau kamu harus menyukaiku juga. Aku juga belum bisa seserius itu."

"Aku benar-benar minta maaf. Aku mau bilang juga kalau aku bersyukur mengenal teman sepertimu."

"Aku pun begitu."

Takashi memasukkan tangannya ke saku celananya. "Yah, aku berharap kita bisa tetap berteman."

"Kita memang berteman, Takashi."

Takashi mengeluarkan tangan dari saku celananya. Dia mengeluarkan dan menunjukkan di tangannya sebuah kancing yang dia ambil dari seragamnya pada Jumat malam lalu. "Ini kancing seragam paling atas milikku. Aku memberikannya kepadamu. Tapi, aku bukannya mau membuat hubungan yang resmi, hanya pertanda kita tetap berteman. Anggap saja sebuah antiperjanjian."

"Antiperjanjian," ulang Zahira sambil menerima kancing dari Takashi.

"Kamu bisa membuangnya kalau kamu tidak mau."

Zahira menggeleng. "Tidak. Akan kusimpan. Ini bisa menjadi kenang-kenangan bahwa aku pernah menyatakan perasaan kepada seorang siswa SMA Jepang."

"Tolong, jangan marah kepadaku."

"Aku tidak marah. Di bagian mana aku marah?"

Zahira dan Takashi berpandangan. Takashi hanya bisa berkata, "Maafkan aku."

"Kau jangan minta maaf terus. Kau tidak melakukan kesalahan apa-apa. Yang terjadi terjadilah," Zahira mengalihkan pandangan ke jendela pengamatan untuk melihat kota lagi. "Bisa pergi ke Asakusa, ke Tokyo, Jepang itu sudah cukup bagiku."

Takashi tidak mengeluarkan kata-kata lagi. Waktu mereka mengamati di Tokyo Skytree selesai. Mereka pun turun ke bawah dengan lift. Mereka tidak bercakap-cakap di lift sampai keluar. Saat mereka keluar, Takurō sudah menunggu mereka.

"Ah, akhirnya!" Takurō membawa sekotak takoyaki[2] dan tiga bungkus taiyaki[3]. "Aku tadi berjalan-jalan dan menemukan beberapa pedagang kaki lima. Ada es krim dan es serut dengan sirup, tapi aku takut itu meleleh, jadi aku belikan untuk kalian ini dulu."

Takashi dan Zahira saling berpandangan kembali dan mereka tersenyum ke satu sama lain. Sepertinya, jajanan adalah pembawa kedamaian. Mereka pun menikmati jajanan yang dibawakan Takurō.



===

[1] Vermouth: Minuman anggur dengan rempah-rempah

[2] Takoyaki (蛸焼き): Makanan cemilan khas Jepang berbentuk bola-bola dari adonan tepung dengan isian potongan daging gurita atau lainnya, seperti keju, daging asap, sosis, dll. lalu diberi saus dan taburan serbuk ikan dan rumput laut.

[3] Taiyaki (鯛焼き): Kue khas Jepang berbentuk ikan dengan isian selai kacang merah (umum), coklat, krim, dan sebagainya.

Seminggu di AsakusaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang