Singapura, 10 Tahun Kemudian - Bagian 2

38 9 0
                                    

Mata Zahira menyesuaikan dengan orang yang dilihatnya sekarang. Seingat Zahira, Kuroki Takashi memiliki rambut hitam lurus yang tipis. Kini, rambutnya menebal dengan beberapa garis bekas highlight rambut. Namun, wajah Kuroki Takashi masih serupa dengan wajahnya sepuluh tahun lalu.

"Kuroki Takashi??" Zahira menunjuk lelaki Jepang itu.

"Ya, namaku Kuroki Takashi. Duduklah." Dengan isyarat tangan, Kuroki Takashi menyilakan Zahira duduk di kursi di seberangnya. Zahira mendekati meja Kuroki Takashi lalu duduk di kursi.

"Apa kabar, Zahira?" tanya Kuroki Takashi.

Sekarang, telinga Zahira yang menyesuaikan dengan apa yang didengarnya. Kuroki Takashi berbicara kepadanya dengan bahasa Indonesia sejak Kuroki Takashi memanggilnya untuk duduk. "Kamu bisa berbahasa Indonesia?"

"Bukankah di Asia Tenggara, bahasa Indonesia adalah bahasa yang umum?" Kuroki Takashi bertanya balik. "Aku belajar bahasa Melayu dulu, sih. Baru aku merambah ke bahasa Indonesia. Mereka cukup mudah."

Zahira masih tidak percaya. Kepintaran Kuroki Takashi tidak berkurang, malah makin menjadi-jadi. "Takashi, maksudku, Kuroki...."

"Panggil aku dengan nama yang nyaman kaupanggil."

Zahira menggeleng-geleng. "Aku bahkan tidak tahu mana yang nyaman."

Kuroki Takashi menelengkan kepala. "Coba tanya hatimu."

Akhirnya, tanpa berpikir, Zahira menyebut, "Takashi."

"Ya?"

Lagi-lagi, Zahira tidak percaya. "Kabarku baik." Zahira menjawab pertanyaan awal.

"Kabarku baik juga," balas Takashi. Meskipun fasih, masih terdengar sedikit cengkok Jepang saat Takashi berbicara bahasa Indonesia.

"Mengapa kamu memanggilku kemari?"

"Karena kamu mencariku."

"Kamu sudah tahu aku mencarimu?"

"Aku habis beli jus jeruk di dekat hotel saat aku melihatmu hendak menyebrang jalan. Aku jadi berjalan beberapa meter di belakangmu. Lalu, aku mendengarmu menyebut namaku saat kamu bertanya ke mahasiswi. Aku terhenti di sisi belokan lorong sebelum menunjukkan diriku. Aku tersadar kalau itu adalah kamu, Zahira. Dari suaramu dan rupamu, ya, aku ingat itu adalah dirimu."

"Kamu masih ingat aku?"

"Tentu saja."

"Bahkan setelah aku pakai kerudung?"

"Ya."

Zahira tersenyum. "Dan akhirnya aku menemukanmu. Aku bertemu denganmu lagi."

"Meski bukan di Asakusa, Tokyo, Jepang."

"Meski bukan di sana."

Takashi mengambil buku menu di meja. "Aku mau pesan makanan. Kamu mau makan?"

"Oh, ya."

"Biar aku traktir."

"Tidak usah repot-repot."

"Sudah. Jangan sungkan."

Takashi memanggil pelayan kafe (dalam bahasa Inggris) untuk memesan makanan. "Aku mau pesan seared salmon. Zahira? Kamu mau apa?"

"Hmmm, aku mau waffle saja," kata Zahira setelah membaca buku menu. "Minumannya, teh hijau dingin."

Takashi beralih lagi ke pelayan. "Pesan satu waffle juga. Teh hijau dingin dan jus persik untuk minumannya. Terima kasih."

"Baik," kata pelayan sambil mengangguk. Pelayan pria itu sudah mencatat pesanan dan meninggalkan meja mereka. Takashi bertanya lagi kepada Zahira, "Kamu masih suka makanan manis dan tidak suka makan daging?"

Seminggu di AsakusaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang