Episode 14 Meet Yos

57 17 3
                                    

27 Desember 2019

Hanya tinggal menemui satu klien, sebelum aku bertolak ke bandara. Mengurusi pernikahan Stephanie Lee di Jakarta. Kurapikan rambut dan riasanku. Oke, semuanya masih sempurna. Aku sedikit mempertimbangkan apakah akan memakai sepatu emas kesayanganku untuk klien satu ini. Tapi kemarin aku sudah mengepaknya di koper, akan sangat membuang waktu jika harus membongkarnya lagi.

Lima menit kemudian, Indie mengabari jika klienku sudah menunggu. Aku merapikan pakaian dan berjalan menuju ruang meeting. Sayangnya apa yang kulihat di balik pintu ini mengejutkanku. Aku benar-benar terkejut, karena ini sungguh di luar ekspektasiku.

Aku terdiam cukup lama. Sejenak bahkan kukira akan pingsan. Tapi kontrol bertahun-tahun menjaga profesionalisme di depan klien segera menyadarkanku, back to reality.

"Maaf, saya baru bisa mengajaknya ke sini. Dia cukup sibuk, jadi, saya senang akhirnya dia bisa datang bersama saya," ujar Ayu dengan wajah malu-malu, berdiri kikuk di sebelah lelaki itu.

"Yosua." Aku akhirnya menyebutkan namanya.

"Katrina, apa kabar?" Suaranya masih semerdu yang kuingat. Rupanya aku benar-benar akan menghadapi badai. Semoga aku tidak akan tergulung ombak. Badai itu berupa mantan pacarku semasa kuliah, Yosua Rao Mirza.

Nama itu cukup unik untuk dilupakan begitu saja. Seharusnya aku mulai curiga saat Ayudia Wirawan mengatakan nama calon suaminya adalah Yos Mirza. Kenapa aku lupa bahwa nama belakangnya adalah Mirza? Memang selama kuliah, dia selalu menggunakan nama Yosua Rao. Yosua adalah nama pemberian kakeknya yang Kristen.

Aku menghembuskan napas kasar. Jadi, si Yos akan menikah. Kalimat itu seakan melayang di udara dan tidak mau menghilang seperti kabut, tetapi malah berputar-putar dalam pandanganku. Dia menikah. Dia akhirnya menikah. Sh*t. Kenapa aku tidak bisa memikirkan yang lain?

Begitu pertemuan itu usai, aku berpamitan kepada seluruh staf dan pulang ke rumah. Aku benar-benar tak ingin berada sendirian di tengah keramaian. Lagipula rumah bagiku seperti kuil bagi pemuja. Di sana tempat aku menemukan ketenangan dan kenyamananku.

Sesampainya di rumah, aku bergegas memasuki kamar mandi dan menyiapkan ritual berendam di bathtub. Rasanya semua beban dan penat luruh lantak saat badanku menyentuh air hangat yang nyaman. Apalagi samar-samar aroma buah peach yang harum memenuhi ruangan. Menenangkan. Memabukkan.

💍💍💍💍💍

"Kamu nggak keberatan punya pacar kayak aku yang gini-gini aja?" tanyaku suatu ketika.

"Kamu kan cantik." Yos mengelus rambutku. Aku menghindari sentuhannya.

"Apa sih, gombal banget." Aku mencebikkan bibir. Yos tertawa dan meraih tanganku.

"Bukannya kalo kita sudah memutuskan berhubungan dengan seseorang, kita harus bisa menerima sikapnya apa adanya, ya?" Yosua memandangku dengan wajah teduhnya.

Aku merasa risih dan mengerutkan bibir. Entah kenapa aku merasa tidak suka saat perasaan sukaku tampak ke permukaan. Aku tidak ingin tampak lemah.

"Lalu kenapa kamu ninggalin aku ke Manhattan?" Pertanyaan itu seakan muncul dari dunia lain.

Aku tersadar bahwa ini mimpi. Karena adegan sebelumnya adalah penggalan kenangan ketika aku kuliah di Stanford bersama Yos. Sementara pertanyaan terakhir adalah misteri yang selalu menghantui sejak Yos meninggalkanku delapan tahun yang lalu. Mengapa dia pergi begitu saja ke Manhattan lalu tidak menghubungiku?

Aku membuka mata. Rupanya aku tertidur selama berendam. Dan sialnya, aku tidak pernah mendapatkan jawaban Yos karena aku tidak bertanya padanya. Bahkan Yos dalam mimpi tetap saja membuat badanku meriang.

Aku bangkit dan duduk. Lalu mengusap rambutku yang mulai basah di ujungnya. Mencoba mengingat percakapan saat kami bertemu di kantorku.

"Yosua."

"Katrina, apa kabar?"

Ayudia memandang kami bergantian dengan ekspresi bingung. "Kalian sudah saling kenal?" Yosua menatapku lekat. Aku hanya menyunggingkan senyum ramah.

"Kami berteman sewaktu kuliah di Stanford," ucapku akhirnya. Yosua menatapku seakan aku sudah gila.

"Wah, benarkah? Keren sekali! Seperti mimpi, aku menikah dengan pria pujaan, lalu pernikahanku diurus oleh The Amazing Kat, dan kalian berdua saling kenal!" Ayudia seakan tidak merasakan situasi canggung di antara kami berdua.

"Ya, ya, tentu." Yosua terdengar gugup dan canggung. "Terima kasih, Katrina. Kamu udah berkenan menjadi perencana pernikahan kami. Ayu ingin agar semuanya dilakukan sesuai dengan tradisiku."

Aku terhenyak. "Tradisi ... mu?" ulangku dengan suara lirih.

Yosua tersenyum manis. "Benar. Tradisi Muslim India. Kukira aku nggak akan banyak ngasih tahu karena kamu sendiri sudah ahlinya kan?"

Banyak artis yang menggunakan tradisi pernikahan muslim India akhir-akhir ini, terutama yang memang memilki keturunan negara asal Shah Rukh Khan itu. Cukup unik dan berbeda dengan tema pernikahan kebanyakan, sehingga klienku pun kadang tertarik untuk menambahkan pernak-pernik pernikahan ala Muslim India itu pada acara besarnya.

Ayudia bertepuk tangan. "Benar, Kak. Ya ampun, aku benar-benar senang banget. Mungkin kita bisa makan malam bertiga ngobrol-ngobrol tentang pertemanan kalian di Stanford."

Aku mendelik. Astaga, tidak. Tidak untuk seratus tahun yang akan datang. Lagipula gadis unyu ini pasti akan menggila jika tahu bagaimana "pertemanan" antara aku dan Yos selama di Stanford.

"Ya, tentu!" jawab Yos dengan antusiasme yang dipaksakan. "Ya kan, Katrin?" Wajahnya seakan berubah saat dia menyebutku dengan panggilan kesayangan yang disematkan olehnya padaku. "Maksudku, Katrina."

Aku menatap Yos dengan tajam. "Iya, tentu."

Tentu saja tidak. Aku mual. Aku harus secepatnya pergi dari sini.

"Oiya, kalau Kak Katrina, kapan akan menikah?" Pertanyaan polos itu muncul dari bibir Ayu begitu saja.

Sebenarnya aku tak ingin menjawab hal itu lagi. Tetapi mata lelaki di hadapanku menusuk ke dalam jantung, yang entah mengapa membuatku akhirnya menjawab, "Sebenarnya aku baru saja dilamar pacarku."

Dan hatiku langsung melempar sumpah serapah. Semoga saja setelah ini Richard akan melamarku. Tanganku meremas ujung pakaian dengan kuat, berharap agar tema ini tidak diperpanjang lagi.

"Wah, selamat ya Kat." Yos menyalamiku dengan tulus. Mataku memindai barangkali ada sedikit rasa ... kecewa, sakit hati? Tapi rupanya nihil. Yos benar-benar tampak senang ketika mengucapkan itu. Mengapa justru aku yang kecewa?

"Oke, cukup tentang aku. Bagaimana dengan kalian, tanggal berapa kalian akan menikah?" Aku berusaha antusias, meskipun aku merasakan tubuh ini mulai gerah. Tahan, Katrina, tahan.

"Sebenarnya ...."

*episode14*

Mantan mau nikah, makanya si Katrina gelisah. Kalau kalian di posisi Katrina, apa yang bakal kalian lakuin? Spill di komen dong!

Kapan Nikah? (Tamat)Where stories live. Discover now