Episode 23 Home Sweet Home

150 24 0
                                    

"Harusnya kamu pulang ke Dharmawangsa. Bukan di hotel ini, Katrina." Papa memelukku dengan erat lalu menggiringku di balkon sebuah suite yang telah kupersiapkan dua kursi santai dan meja kecil berisi panganan kecil, seperti beberapa kue basah dan kue nastar kesukaan papa. Bukan hal yang sulit bagiku untuk menyediakan hal sepele macam ini.

"Aku lebih sering menghabiskan waktu di hotel ini daripada rumah. Jadi ini rumah masa kecilku sepertinya." Aku berdalih, lalu duduk di salah satu kursi tersebut.

Papa tergelak, mengambil kue nastar yang berbentuk daun dan memasukkan semua ke dalam mulutnya. "Hmmm ... chef baru itu pintar membuat kue rupanya." Aku hanya mengangkat alis. Jelas makanan itu kalorinya tinggi, mengandung banyak gula dan akan membuatku gemuk. "Ck! Satu kue takkan menambah berat badanmu dalam semalam. Makanlah."

Aku hanya berdecak. "Enggak, Pa. Makasih. Jadi kenapa Papa pengen ketemu aku?"

"Ponselmu hilang?" tanya papa langsung ke intinya. Hei, dari mana papa tahu? Padahal sepertinya baru beberapa jam.

"Yah, kayaknya ketinggalan di cafe. Aku harus urus ini itu untuk dapat kartu baru." Aku menatap pemandangan matahari yang mulai terbenam di depan mataku. Rasanya badanku luluh lantak, tetapi setelah mandi dan berganti baju di hotel ini aku merasa sedikit segar. "Kok Papa bisa tahu? Aku belum bilang sama siapa-siapa kecuali pihak provider."

"Ada cowok yang nelpon Papa tadi. Ponselmu ada di dia, tanya gimana biar bisa balikin ke kamu." Papa menghela napas. Lalu mengeluarkan ponsel lamaku dari saku jasnya. Aku menerimanya dengan malas. Sepertinya perjuanganku barusan sia-sia saja.

"Pasti Yos. Papa ketemu dia?" Aku bertanya dengan getir. Papa pernah bertemu beberapa kali dengan Yos saat menjengukku di Stanford.

"Yos? Dia udah pulang? Tapi yang balikin tadi bukan Yos, kok. Namanya Sean. Pacar kamu?" Papa menatapku dengan tatapan menyelidik.

"Sean? Kok bisa ada di Sean?" Aku keheranan.

"Long story short, tanya aja sama dia sendiri." Papa menghembuskan napas. "Kamu kayaknya udah lama nggak pulang. Nggak kangen sama papa?"

Aku memandang beliau dengan rasa bersalah. "Maaf, Pa. Aku kangen sama Papa, tapi ... aku malas pulang."

"Soal mamamu?" Papa kembali mencomoti nastar itu lalu menyesap minuman hangat yang sudah disiapkan oleh chef hotel ini. Kemewahan yang terasa biasa saja jika kau adalah pemiliknya. Papa sudah berkecimpung di bisnis hotel ini selama tiga puluh tahun, sejak hotel ini hanya berupa bangunan tiga lantai yang sederhana. Kini bangunan tersebut sudah menjadi hotel bintang lima yang terkenal.

Karena dipancing, aku pun mengeluarkan semua uneg-uneg yang selama ini kupendam. Tentang pasangan, hubungan yang tak pernah berakhir baik, tekanan mama dan keluarga besar mengenai menikah. Rasanya lega sekali ketika aku selesai mengucapkan semuanya. Seakan beban yang menghimpit dadaku berangsur hilang.

"Katrina, Papa tak mengharapkan apa-apa mengenai hubungan kamu dan mama selain bersabarlah. Pahamilah mama seperti klienmu. Dia menikah di usia dua puluh tahun, lalu kamu lahir dan melengkapi kebahagiaan kami. Dia hanya tahu menikah muda adalah hal terbaik yang pernah ia lakukan dan ia ingin anaknya mengalami hal yang sama." Papa menerawang jauh, seolah mengenang masa-masa di mana ia muda.

Aku tercenung. Betapa mudahnya aku sebagai seorang anak jika mengikuti jejaknya menikah muda. Papa bahkan harus berganti agama demi menikahi mama, karena agama lamanya melarang poligami, sementara istri pertama papa menolak diceraikan. Yah, seruwet itulah silsilah orang tuaku. Pernikahan papa yang pertama karena dijodohkan dan papa tak bahagia, begitu pun istri pertamanya, Gayatri. Tetapi mereka saling menghormati, papa bahkan merawat ibu Gayatri hingga kanker menumbangkan dirinya di usia muda. Ibu Gayatri menolak diceraikan papa karena takut mati sendirian karena ia tahu bahwa kanker telah menggerogoti tubuhnya. Beliau mengizinkan papa menikah lagi, selama ia tidak diceraikan.

Aku memikirkan itu dalam hati dan kini setelah menjadi kesepian, aku memahami mengapa permintaan ibu Gayatri masuk akal sekarang. Bukan karena ia terlalu mencintai papa. Tapi ia takut mati sendirian. Sesuatu yang kini menerorku terus menerus, hingga putus asa sampai ingin menikahi siapapun yang bersedia.

"Pa, aku bukan tak mau menikah. Tapi aku sampai sekarang belum menemukan pasangan. Richard yang kusangka akan melamarku malah mencampakkanku. Dan sekarang aku terlalu lelah untuk menjalin hubungan baru." Benakku mengirimkan kenangan saat Sean bahkan menolak menikah denganku. Mungkin selamanya aku takkan pernah menikah. Lalu bagaimana jika semua investor beranggapan sama seperti pak Cokro? Mungkin aku juga harus menutup Lituhayu juga.

"Nggak papa, Sayang. Beristirahatlah dulu. Tapi setelah itu, bukalah hatimu dan nikmati hidupmu." Papa menyesap kembali minuman hangat yang kini mulai dingin. Kuhabiskan minumanku sendiri dalam satu kali tenggak.

"Sepertinya aku takkan pernah menikah, Pa. Juga bisnisku nyaris gagal." Aku mengeluh. Segera saja cerita tetang pak Cokro mengalir dari mulutku.

"Omong kosong, Sayang. Jika kamu butuh dana, kamu bisa saja menelepon Papa. Bisnis sinergi hotel dan WO akan sangat bagus. Sekalian saja kamu ambil alih bisnis Papa." Papa menghempaskan tubuhnya dalam sandaran kursi dan berbaring. Hari mulai gelap. Tapi Papa dan aku sepertinya tak ingin mengakhiri momen menenangkan ini. Lampu-lampu berkelap-kelip menghiasi jalanan kota menjadi pemandangan menarik.

Aku terpekur menatap semua keindahan itu, lalu merasa sedih karenanya. "Enggak, Pa. Papa tahu kan aku ingin mandiri."

Papa tergelak. "Kamu sudah membuktikannya selama ini, Sayang. Papa sangat bangga padamu."

Aku tersentak. "Meskipun aku belum menikah dan punya anak?"

Papa kembali berdecak. "Apapun yang dikatakan mamamu jangan pernah masukkan ke hati. Dia sendiri uring-uringan karena tak tahan dengan perkataan orang. Aku sudah menyuruhnya untuk mengabaikan perkataan orang-orang itu. Tapi memang karakter mamamu begitu."

"Kenapa Papa memilih mama? Maksudku, Papa bisa saja hidup tenang dengan Ibu Gayatri meskipun kalian tidak saling mencintai. Daripada dengan mama yang cerewet dan nyebelin." Aku memutar bola mata. Makian mama tentang perawan tua kembali menusuk jantungku.

"Hei, dia masih mamamu dan istri Papa. Hormati dia sedikit," Papa melototku ke arahku. Tapi aku tahu dia tidak serius. "Papa mencintai mama, seperti apa adanya dia. Saat Papa berikrar di hadapan Tuhan, Papa bertekad akan menjaga komitmen ini sampai akhir hayat. Mama pun demikian. Ibu Gayatri orang yang baik, tapi kami menciptakan pernikahan yang membosankan, tanpa ada yang berusaha untuk mendobrak kesunyian itu. Karena itu kanker mulai menggerogotinya. Saat itulah papa mengenal mamamu. Karakternya yang blak-blakan dan suka terus terang, mampu mengimbangi Papa untuk bertahan dengan biduk pernikahan kami. Memang bukan hal yang mudah, kadangkala Papa sempat bosan atau jengkel dengan mamamu, tapi sampai sekarang tak pernah terbersit dalam pikiran papa untuk berpisah darinya."

"Tapi gimana? Gimana caranya menemukan pasangan yang seperti itu? Katrina sudah mencoba, tapi belum pernah menemukan orang yang seperti itu." Aku menatap langit yang dihiasi sedikit bintang.

"Apakah kamu tahu mengapa pernikahan itu dianggap sebagai sebuah ibadah? Karena orang berubah. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Bisa saja suatu saat mama selingkuh, atau papa selingkuh. Orang makin lama juga berubah, juga waktu dan kondisi mereka. Tak ada yang bisa memberikan jaminan. Atau pernikahan ini berakhir begitu saja tanpa rencana, atau malah langgeng hingga akhir hayat. Yang terpenting adalah bagaimana kita menjaga komitmen dengan pasangan kita, berikhtiar hingga ajal menjelang. Itulah ibadah terbesar dalam hidup, Sayang. Komitmen hidup bersama orang yang sama, hingga maut menjemput, tak ada tandingannya dengan ibadah yang lain di dunia. Pesan Papa cuma satu, menikahlah dengan orang yang menghargaimu dan menghormati dirimu meskipun dalam kondisi sakit, jelek, atau marah. Orang yang mampu membuatmu tertawa meskipun dia tak mengatakan apa-apa. Orang yang akan selalu memperjuangkan kebahagianmu, begitu pun dirimu selalu ingin memperjuangkan kebahagiannya."

*episode23*

Apakah Katrina bisa baikan lagi sama Mamanya?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 02, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kapan Nikah? (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang