Episode 9 Lelaki menarik

109 24 3
                                    

Dengan ekor mataku, Indie kupinta untuk keluar sejenak. Sahabatku itu berdecak kesal, tetapi ia menurut. Kuusap tombol di layar yang menampilkan ikon telepon berwarna hijau.

"Who the hell are you?" semburku bahkan sebelum lelaki itu mengatakan halo. "Kamu udah bikin pusing aku seharian, tahu nggak?"

Jujur saja, aku belum pernah sampai meluapkan emosiku kecuali kepada orang terdekat. Aku cenderung tersenyum dan ramah pada orang asing. Jadi aku sendiri terkejut mendengar nada suaraku yang terkesan kasar padanya. Ugh, never mind! He's a totally stranger!

Terdengar gelak tawa dari seberang. "So, it takes two days for calling." Suaranya cukup sexy, by the way. Segera saja kuenyahkan pikiran nyeleneh itu. Sempat-sempatnya sih, aku memikirkan suara lelaki itu.

"Nggak lucu! Tolong kirim aku nomer rekeningmu, akan segera kutransfer uang untuk air mineral itu." Rasanya gerah sekali, ya ampun. Apa Indie mematikan AC?

"Hmmm. Sudah kubilang aku nggak mau diganti uang. Kamu masih ingat kan, Katrina Calya Ivanka?" Terdengar suara gemerisik kertas dari seberang sana.

Sebentar, dari mana dia tahu nama lengkapku?

"Jangan bikin lelucon lah. Aku sudah pusing sekali sekarang. Nggak mood sama lawakan garing." Aku menyergah dengan ketus.

"Fine. Aku serius kok. Kamu harus menggantinya dengan mentraktirku makan, ingat? Tentukan tempatnya, aku menurut saja." Sean terdengar santai sekali, seolah tak terpengaruh kata-kataku yang kasar.

"Sekarang?" Aku terheran-heran. Ya Tuhan, mengapa hari ini rasanya penat sekali.

"Aku baru saja makan siang. Dan sekarang aku sibuk sekali."

Aku menghembuskan napas. "Bukan hanya kamu aja yang sibuk, oke, Mister CEO?" Aku mendengkus kasar. Memangnya cuma dia aja yang kerja.

Terdengar gelak tawa lagi. Gosh, rasanya aku sedikit meleleh. Kukira, aku sebaiknya bersikap lebih baik padanya. Toh, dia membantuku saat pernikahan akhir tahun itu. Sebentar, siapa nama klienku itu? Mengapa aku mendadak jadi lupa? Apa aku sudah menjadi pikun?

"Jadi kamu benar-benar membaca kartu namaku. Wah, kamu hebat sekali dalam mengingat detail." Sean melemparkan pujian. Sialan, bisa nggak sih dia nggak usah bermanis-manis gini? Aku tak menjawab. Terlalu penat untuk memikirkan kalimat balasan, yang tidak terdengar sarkas, tapi aku juga tak mau terkesan seperti berbaik hati padanya. Ah sudahlah. "Sepertinya kamu lagi bad day. Kalau kamu mau, nanti malam saja kita bertemu. Aku siap untuk mendengar keluh kesahmu."

Astaga. Memangnya dia pikir dia ini siapa? Aku salut untuk kepercayaan dirinya. Sepertinya memang tak salah jabatan itu disematkan pada namanya. Sayang dia merayu cewek yang salah. Eh tunggu. Apa yang kubilang tadi? Merayu? No, no. Aku bukan cewek gampangan. Tanganku kembali memijat pelipis.

"Oke. Kirim saja alamatnya, aku akan kirim uangnya via kurir." Aku duduk di kursi kerja, membuka beberapa berkas yang harusnya kuperiksa sedari tadi.

"Kukira, itu bukan cara yang benar untuk berterima kasih. Kamu tak mau dianggap tidak sopan, ya kan?" Sean seakan tahu persis siapa diriku. Rasanya seperti ulu hatiku ditikam sembilu. Aku menghembuskan napas kasar.

"Baiklah, tolong kirimkan alamatnya. Aku akan ke sana pukul tujuh. Dan aku ...."

"Benci pada orang yang datang terlambat. Tahu, kok. See you there." Sambungan dimatikan. Meninggalkan aku yang terbengong-bengong. Rasanya kesadaran diriku terbelah, antara penasaran setengah mati pada lelaki itu, serta rasa jengkel karena dia begitu mudah mempermainkanku.

Kapan Nikah? (Tamat)Where stories live. Discover now