Lembar 25 || Perang Bubat.

29 10 0
                                    

Setelah surat lamaran itu sampai ditangannya, dengan senang hati Maharaja Sunda menerima pinangan dari Sri Hayam Wuruk . Lalu pada hari yang sudah ditentukan raja Sunda berangkat mengantarkan putrinya dengan di kawal oleh dua ratus kapal dan dua ribu perahu.

Mereka berhenti di Bubat yang berada di sebelah Utara ibu kota Majapahit untuk menunggu penyambutan dari pihak mempelai laki-laki. Sri Hayam Wuruk sebenarnya setuju, namun Gajah Mada memberikan pendapat lain.

Gajah Mada menilai bahwa sebagai raja agung dari Majapahit tidak sepantasnya jika Sri Hayam Wuruk datang menjemput mempelai putri. Menurutnya, raja Sunda-lah yang harus datang ke istana Majapahit mempersembahkan putrinya. Karena ucapan Gajah Mada yang sangat meyankin, akhirnya sang raja menerima semua sarannya.

Gajah Mada pun mohon undur diri menuju Bubat, tak berapa lama nampak Gajah Mada keluar dari istana lantas memanggil Kivan dan ketiga temannya beserta pemimpin-pemimpin prajurit lain untuk menghadap.

"Ada apa gerangan patih memanggil kami?" Tanya salah satu diantara mereka.

"Kumpulkan semua prajurit, kita akan menuju lapangan Bubat!!" Perintah Gajah Mada dengan tegasnya.

Tanpa bertanya-tanya lagi mereka langsung mengikuti perintah sang patih.

Setelah semua pasukan terkumpul, mereka langsung berangkat ke Bubat.

Sampai disana nampak para rombongan orang-orang Sunda sedang sibuk menurunkan dan merapikan barang bawaannya.

"Manggala, Mahanta, Shankara, Kusuma!" Panggil Gajah Mada.

"Sendika Patih," sahut mereka berempat hampir bersamaan.

"Kalian dan semua pasukan bersiap dibelakangku, tunggu komando dariku!" Perintahnya.

"Tandya¹⁰ Patih! Jawab mas Naung sebagai perwakilan.

Tak berapa lama datang raja Linggabuana menemui Patih Gajah Mada.

"Maaf Mahapatih yang kami hormati, ada apakah gerangan maksud kedatangan patih kemari dengan membawa pasukan begitu banyaknya?" Tanya raja Sunda penuh wibawa dan keanggunan.

"Maksud kami datang kesini hanya untuk mempertegas bahwa pernikahan putri Dyah Pitaloka dengan raja kami Raden Hayam Wuruk tidak perlu acara resmi dan mewah, karena ini hanya simbolis bahwa kerajaan Sunda Galuh mengakui tunduk kepada kami dan putri Dyah Pitaloka sebagai upeti kepada raja kami!" Tegas Gajah Mada lantang tanpa basa-basi.

Seketika raja Linggabuana terkejut, matanya membelalak kaget bukan kepalang. Tak menyangka Mahapatih Gajah Mada yang terkenal sangat kesatria mempunyai kelicikan bak ular kadut. Bukan hanya sang Maharaja saja terkejut, mas Naung dan ketiga temannya yang lain juga terkejut.

Raja Linggabuana pun marah.

"Wahai Gajah Mada, apa maksudnya engkau bermulut besar terhadap kami? Kita ini sekarang ingin membawa Tuan Putri, sementara engkau menginginkan kami harus membawa bakti? Tidak sama seperti dari Nusantara. Kita lain, kita orang Sunda, belum pernah kami kalah berperang."

"Seakan-akan lupa engkau dahulu kala, ketika engkau berperang, bertempur di daerah-daerah pegunungan. Sungguh dahsyat peperangannya, diburu orang Jipang. Kemudian patih Sunda datang dan bala tentaramu mundur."

"Kedua mantrimu yang bernama Lěs dan Beleteng diparang dan mati. Pasukanmu bubar dan melarikan diri. Ada yang jatuh di jurang dan terkena duri-duri. Mereka mati bagaikan kera, siamang dan setan. Di mana-mana mereka merengek-rengek minta tetap hidup."

"Sekarang, besar juga kata-katamu. Bau mulutmu seperti kentut jangkrik, seperti tahi anjing. Sekarang maumu itu tidak sopan dan berkhianat. Ajaran apa yang kau ikuti selain engkau ingin menjadi guru yang berdusta dan berbuat buruk. Menipu orang berbudi syahdu. Jiwamu akan jatuh ke neraka, jika mati." Prabu Linggabuana marah dan serta merta memberikan penolakan terhadap Gajah Mada.

"Wahai kalian para duta! Laporkan kepada tuanmu bahwa kami tidak akan menghadap lagi menghantarkan Tuan Putri!"

"Meskipun orang-orang Sunda tinggal satu tangannya, atau hancur sebelah kanan dan kiri, kami tiada akan silau! Kami siap menumpahkan darah demi harga diri kerajaan Sunda. Hidup Sunda Galuh!!" Lanjut prabu Linggabuana penuh keberanian.

"Hiduuupp!"

"Hidup Sunda Galuh!"

"Hiduuupp!"

Dengan sorak-sorai rombongan orang-orang Sunda mendukung rajanya.

Kivan, mas Naung, Janu dan Sanja merinding mendengarnya, kata-kata penuh kiasan namun tajam yang menggambarkan keberanian rakyat Sunda Galuh dalam membela harga diri negerinya.

Patih Gajah Mada seketika marah, seakan-akan robek telinganya mendengarkan kata-kata pedas raja Sunda dan rakyatnya.

Tak berpikir panjang patih Gajah Mada, tak bisa menahan amarahnya dan langsung memberi komando.

"Rawe-rawe rantas malang-malang putung!! Seraaang!" Seketika terjadi Chaos, perang tak terhindarkan.

Kivan, Sanja, mas Naung, dan Janu yang berdiri tepat di belakang patih Gajah Mada dengan jelas menyaksikan tragedi ini, dimana perang tak seimbang.

Keempat pemuda itu hanya bisa terdiam menyaksikan ini semua, menurut mereka berempat semua yang terjadi saat ini tidak cocok disebut perang.

Ini lebih tepat disebut pembantaian, dimana semua rombongan Sunda dibantai habis-habisan tak tersisa, tak terkecuali maha Prabu Linggabuana sang raja Sunda juga ikut gugur dalam peperangan ini.

Tapi dengan perlawanan yang pantang menyerah tak sedikit pasukan Majapahit yang gugur di medan perang.

Cowok-cowok itu hanya bisa berdiri tegak ditengah peperangan, bukan untuk membunuh atau dibunuh, tapi mereka ingin menyaksikan detik demi detik pertempuran yang telah tercatat dalam sejarah.

Dimana darah berhamburan mengucur membasahi bumi pertiwi, serta suara dentingan pedang nyaring melengking.

________________________

Tandya : Jawa Kawi, isyarat jawaban atas perintah pada pasukan yang berarti siap!¹⁰

Get Lost In The 14th Century [END].Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang