10. Butuh Kepastian

15 10 4
                                    

Sudah tiga minggu berlalu, Rea dan Dheo hanya menjalin hubungan layaknya teman dan kakak adik.
Rea berharap bahwa Dheo bisa memberikan hubungan yang jelas. Setelah hari-hari yang mereka lalui bersama-sama. Namun, itu semua hanya angan Rea saja.

Anggota tim kerja mereka berdua, selalu bertanya, apakah mereka sudah pacaran atau belum. Rea dengan cepat menjawab sesuai fakta, bahwa mereka belum pacaran. Dan Rea mengatakan kepada teman kerja disana, bahwa itu tidak akan terjadi, karena Rea berpikir, Dheo tidak akan suka padanya.

Tetapi semua menyangkal, memberi keyakinan kepada Rea, bahwa Dheo memiliki perasaan untuk Rea, dan menyuruh Rea mengungkapkan perasaan. Rea, gengsi karena menurutnya laki-laki yang harus mengungkapkan perasaan duluan.

Sedangkan disisi lain, Dheo selalu diperintah teman-temannya untuk memberikan kepastian kepada Rea. Jangan menggantung Rea, dan tunjukkan keberanian untuk memliki Rea. Dheo takut kecewa, jika mengungkapkan perasaannya.

"Re, dah pacaran sama kakak Lord?" pertanyaan yang selalu diucapkan teman-temannya, terutama Adri.

Rea hanya diam menggelengkan kepala.

Adri menyinggung Dheo dari depan tapi Dheo tetap terlihat biasa saja. "Kalo kakak, jadi kak Lord. Kakak dah tembak adek buat jadi pacar kakak. Tapi, kakak bukan kak Lord yang udah dekat banget sama Rea!" Adri melirik Dheo, Dheo pura-pura tidak tau, sedangkan Rea hanya tersenyum mendengar itu.

Rea terkadang rasanya ingin menangis, mengapa dirinya harus menjalin hubungan tanpa status, diperhatikan tapi tidak diinginkan, seakan diberi harapan tapi tidak ada kepastian.

Rea juga berpikir, apakah ini balasan karena ia telah merebut Dheo dari Eca? Tapi, terlintas lagi dipikiran Rea. Ia tidak merebut, Dheo yang datang dengan memberi kenyamanan. Dheo juga bukan siapa-siapanya Eca, jadi Rea tidak merebut hak seseorang. Jadi, siapa disini yang salah?

Hari-hari yang Rea jalani, ia tetap berusaha kuat. Walaupun tidak bisa bersama Dheo dalam status yang jelas.

***

Sepanjang hari di tempat kerja, Rea dan Dheo tetap bersama seperti hari-hari sebelumnya, packing bersama, bercanda tawa, dan ngobrol. Seakan tidak terjadi apa-apa, tapi hati Rea ingin memiliki Dheo.

Saat jam istirahat tiba, selesai makan Rea pergi ke halaman belakang PT. Sriwijaya untuk mencari ketenangan. Tidak lama kemudian, Dheo menyusul dan duduk didekat Rea.

"Dek," panggilnya.

Rea menoleh, "Kenapa, kak?"

"Emm enggak sih, kakak boleh kan duduk disini juga?" tanya Dheo, Rea mengangguk tersenyum.

Setelah itu, mereka berdua hanya diam seribu bahasa, tidak tau apa yang ingin dibicarakan hanya bergelut pada pikiran masing-masing. Sampai akhirnya, Dheo membuka topik. "Dek, kenapa nggak pacaran?"

"Ha, maksudnya kak?" Rea terkejut dengan pertanyaan itu.

"Iya, kenapa nggak pacaran dek?" ulang Dheo.

"Sama, siapa?"

"Sama yang suka sama adek lah,"

"Masalahnya, nggak ada yang suka adek, kak," sangkal Rea.

"Ish banyak yang suka, adek aja nggak peka," Dheo memberi kode.

Rea menghela napas, "Huhhh. Adek nggak tau siapa yang suka sama adek kak. Lagian juga kenapa yang suka itu nggak ngungkapin?"

Dheo berdehem, ia berpikir apa ia harus mengungkapkan perasaannya sekarang atau tidak.

Melihat Dheo bingung, Rea menatap Dheo sangat lekat dan ingin mengetahui isi hati Dheo, "Emang, siapa yang suka sama Rea?"

"Enal," jawab Dheo gugup.

Rea berdesis, dan mencoba untuk baik-baik saja. Karena bukan itu jawaban yang Rea inginkan.

"Kalo dia nembak, adek mau nggak?"

"Ya ampun," lirih Rea. "Nggak ah, nanti kakak marah,"

"Marah, kenapa kakak dek?"

"Hahahaha, adek mikirnya kek itu, nanti kakak marah," Rea tertawa terpaksa.

"Kakak sekarang, lagi nggak mau pacaran dulu," ucap Dheo berbohong.

"Yaudah, kalo kakak nggak, berarti adek juga nggak," tolak Rea.

"Lah, kenapa nggak dek?"

Rea menaikkan bahu tidak tahu.

"Ish, nanti nyesal de,"

"Nyesal, karena?"

"Nggak pacaran sama dia dek,"

Rea memasang muka datar dan hanya diam dengan ucapan Dheo.

Melihat ekspresi Rea, Dheo tertawa, "Hahaha. Pokok nya adek harus punya pacar dalam beberapa hari kedepan," ujar Dheo asal.

"Huh,"

"Kenapa dek? Nanti kakak bantu buat biar dia nggak nyakitin adek,"

"Kakak aja yang cari pacar, buat kakak!" ucap Rea sedikit penuh penekanan.

"Iya, nanti,"

"Yaudah, kalo cowok mudah. Cewek? Nunggu," Rea memberi kode.

"Maksudnya, dek,"

"Maksudnya, kalo cowok mudah cari cwek, sedangkan cewek, hanya bisa nunggu yang datang!" Rea sudah pasrah dengan Dheo.

"Ohh, yaudah tungguin aja dek, nanti ada yang datang."

Rea hanya berdehem dan kesal dengan ucapan Dheo. "Kenapa? Kenapa dia malah bawa orang lain tentang perasaan suka? Apa dia sebenarnya memang nggak suka sama gue? Terus tujuan topik tadi?" batin Rea, bergelut dengan pertanyaan yang muncul dipikirannya.

Sedangkan Dheo, berusaha untuk tenang dengan ucapannya sendiri. "Maaf Re, gue masih belum berani buat ngungkapin perasaan gue yang sebenarnya." batin Dheo, melihat Rea hanya tertunduk lesu.

Lima menit lagi jam istirahat habis, Rea pamit duluan kepada Dheo untuk masuk, Dheo hanya mengiyakan.

Rea berjalan lunglai memasuki pabrik, tidak ada semangat untuk kembali bekerja. Tetapi, ia terus berusaha agar baik-baik saja, walau di dalam hatinya sangat sakit. Rea sudah pasrah jika memang Dheo tidak bisa ia miliki.

Sedangkan Dheo, masih terduduk lemas di halaman tadi, berusaha meyakinkan diri. Kenapa disaat mendekati Rea ia berani, sedangkan untuk mengungkapkan perasaan ia tidak memiliki keberanian itu.

My Love At The Factory (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang