1. Masa Lalu Rasa Baru

904 49 2
                                    

"Istri workaholic kamu itu sudah kelewatan, Theo. Kamu kenapa bukannya sadarkan istri kamu, malah kamu kayak menikmati peran sebagai bapak rumah tangga. Apa kamu nggak ada malunya gabung sama ibu-ibu yang ikutan lomba masak di sekolah Bella tadi, Theo?"

Deretan protes yang diajukan oleh wanita berusia lima puluh tahun—bernama Dewi—di hadapan Theo sama sekali tidak ditimpali oleh lawan bicara. Dewi merasa sedikit menyesal sudah mengeluarkan kalimat tersebut dengan nada tinggi, tetapi menyadari sang putra hanya menunduk tanpa ada sisi kelakian sama sekali, membuatnya merasa semakin khawatir bercampur kesal.

"Mama cuman takut kalau kamu diinjak-injak sama Raisya, Theo. Mama besarkan kamu dan didik kamu jadi pekerja keras supaya bisa menjalankan tugas sebagai suami yang baik. Tapi kenyataan sekarang ... kamu malah jadi pengasuh anak kalian dan tinggal mendekam di rumah sementara istri kamu bebas keluyuran, kerja sampai lupa waktu, dan nggak kenal batasan sama laki-laki di luaran sana. Kamu nggak pikirin itu semua, Nak?"

Butuh keheningan beberapa menit sampai akhirnya Theo meninggalkan pandangan dari makanan, dan menengadah pada sang ibu.

"Apa masalahnya dengan itu, Ma?" Sosok penurut dari si putra tunggal mulai meredup saat Theo mengajukan pertanyaan tersebut. "Aku sangat mengerti gimana rasanya dikekang oleh orang terdekat. Raisya juga kayak gitu. Dia dipaksa menikah sama laki-laki yang dia cintai, dan sempat mengorbankan dunianya sebentar demi melahirkan dua anak kami. Apa masalahnya kalau aku sedikit mengalah dan membiarkan dia bebas, Ma? Dia manusia. Dia bisa gila kalau selalu ditekan, tanpa dimengerti sedikit pun."

"Dan sekarang, apa istri kamu mengerti sama perasaan dan kondisi kamu, Nak? Apa dia peduli sama keinginan kamu? Nggak! Dia malah makin seenaknya sama hidup kamu! Kamu dibiarin urus rumah, bebersih, masak buat dia, bahkan ... kamu mungkin yang pijitin dia, Theo? Jangan bilang juga, kalau kamu yang minta nafkah sama istri kamu!"

Merasa percuma menjelaskan, Theo memilih untuk menyesap minumannya dan memalingkan pandangan ke lantai. Ia paling tidak bisa terus membantah sang mama, sementara di sisi lain, Dewi nyaris mustahil mengerti keadaan. Theo sangat yakin, bahwa bagaimanapun ia menjelaskan, Dewi tidak akan pernah berhenti menyudutkan keduanya.

"Mama nggak besarin pecundang buat dijadiin bapak rumah tangga, Theo. Kamu seharusnya mengerti itu dari cara Mama minta kamu buat nyari kerjaan sejak zaman SMA." Dewi kembali berbicara, tetapi dengan lebih pelan kali ini. Entah mulai merasa malu sebab baru teringat mereka berada di restoran, atau merasa iba pada sikap mengalah sang putra tunggal. "Kamu harus kembali kerja, dan terserah istri kamu mau ngapain aja. Asalkan jangan kamu yang kerjain tugas rumah tangga."

Spontan, Theo mendongak dengan ekspresi tidak setuju atas saran dari mamanya itu. Ia hendak melayangkan protes mengabaikan status si lawan bicara, karena sekarang bagian utama dalam hidupnya adalah sang buah hati. Namun, suara Theo sama sekali belum keluar ketika Dewi kembali melanjutkan ucapannya.

"Mama sudah pilihkan pengasuh untuk dua anak kamu, jadi kamu bisa fokus bekerja."

"Tapi, Ma ... aku sama Raisya sepakat nggak pakai pengasuh karena ... kami terlalu takut dia kena pengaruh buruk dari luar. Orang yang dikenal aja, belum tentu 100% baik, apalagi orang asing, Ma. Nggak. Aku sama Raisya nggak setuju!" tolak Theo dengan tegas.

Namun, Dewi terlihat santai menanggapinya. Ia mengambil minuman di depan lebih dulu untuk disesap dua tegukan, sebelum meletakkannya kembali di tempat dengan anggun.

"Kamu kenal orang yang Mama pilih dengan baik, dan Mama yakin, kamu nggak bakalan pernah meragukan dia sama sekali."

"Ma ...." Theo masih tidak puas dengan jaminan ucapan sang ibu. Ia hendak melayangkan kalimat bantahannya lagi, tetapi kegiatan menelepon Dewi menghentikan niatannya.

"Ya? Kamu sudah sampai? Masuk saja. Saya ada di meja nomor 17," kata Dewi pada sosok yang ia telepon.

"Ma!" Kali ini, Theo sangat tidak menyukai sisi arogan dari Dewi. Pasalnya, ini bukan hanya tentang dirinya saja, tetapi juga pendapat Raisya—sang istri. Mustahil ia bisa mengambil keputusan di mana sebelumnya mereka sepakat untuk menolaknya. "Aku nggak butuh bantuan pengasuh!"

Tepat setelah kalimat bernada tegas itu dikeluarkan Theo penuh amarah dan mengejutkan Dewi atas perubahan sikap dadakan dari si putra tunggal, seorang wanita muncul menyapa keduanya.

"Selamat siang."

Dewi mengembuskan napasnya yang sempat tersendat akibat keterkejutan atas sikap sang anak, lalu menoleh pada si penyapa. Sementara Theo harus memperbaiki suasana hatinya lebih dahulu sebelum berinteraksi dengan orang asing. Seburuk apa pun perasaannya, jangan sampai mempengaruhi orang lain. Itu tekad Theo sejak dahulu.

Jadi, hanya setelah Theo bisa menampilkan wajah rileks yang ramah, ia baru mengangkat wajahnya untuk balas menyapa sosok baru itu sekaligus sudah menemukan kalimat pas untuk menolaknya.

Namun, setiap kalimat yang hendak Theo keluarkan untuk menolak si calon pengasuh terasa menguap begitu saja di udara, karena tubuhnya mendadak beku dan kaku saat melihat orang baru tersebut. Bahkan, Theo lupa caranya mengerjap untuk membasahi mata yang kering, hanya agar ia tidak melewatkan semilidetik pun dari memandang si perempuan berambut warna smooky ash.

"Theo." Wanita itu menyapa dengan sangat lembut, khas seperti tujuh tahun lalu. Bahkan senyuman yang ia lontarkan masih sama seperti dulu, bahkan lebih manis. Lebih candu. Lebih mendebarkan.

Hanya karena sengatan sensasi dingin dari cincin tembaga di jari tengah sebelah kanan milik Theo, ia akhirnya sadar. Pria itu langsung meneguk saliva secara kasar seolah menelan semua sisa-sisa memori di masa lalu sebelum menunduk untuk mengingatkan diri sendiri pada cincin pengikat di jarinya. Bahwa ia sekarang sudah dimiliki oleh perempuan lain—yang sama sekali tidak dicintai. Bahwa pada kenyataan yang paling pahit, wanita yang kembali mengaktifkan detak keras rasa spesial di dalam dadanya ini ... bukan lagi kekasihnya.

Theo harus segera sadar, walau untuk memaksakan hal itu, ia harus merasakan sengatan sakit di lubuk hatinya.

"Anna butuh pekerjaan, dan Mama kebetulan ketemu dia. Jadi, Mama tawarkan dia untuk jadi pengasuh dua anak kamu," jelas Dewi, sama sekali tidak menghiraukan segurat sedih dan penyesalan di wajah mantan pasangan itu. "Kamu jelas sudah tahu bagaimana karakter Anna, Theo. Jadi sekarang, kamu bisa putuskan buat terima dia, 'kan?"

Theo mengusap wajah secara kasar ketika Dewi mempersilakan Anna untuk duduk. Pria itu terlihat jelas sedang susah payah menata perasaan, agar tidak kembali ke masa tujuh tahun lalu, dan sadar bahwa dirinya sudah hidup di masa sekarang—masa keduanya harus bersikap selayaknya orang asing.

Diawali oleh embusan napas panjang demi melegakan dada, Theo mulai memandang Dewi lebih dulu selaku pemberi pertanyaan, sebelum mengalihkan lirikan pada Anna.

"Aku ...."

[UPDATE SETIAP HARI SELASA]

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


[UPDATE SETIAP HARI SELASA]

Kalau kamu nggak sabaran, kamu bisa baca cerita ini LEBIH AWAL/secara lengkap di :

KBM App : Es_Pucil

***

Mari kenalan :

Instagram : es.pucil
Facebook : Es Pucil III

🔺🔺🔺

Tolong dengan sangat, jangan buat aku merasa menyesal/kapok bikin cerita; jangan plagiat dan upload ceritaku di mana pun itu, tanpa dapat izin dariku.

ANNA : Pelakor AntagonisWhere stories live. Discover now