10. Siasat Balas Rencana

118 15 0
                                    

"Halo, Anna? Gimana? Theo mulai melunak sama kamu?"

Raisya dalam posisi bersandar di dinding dengan mata memejam, mendengarkan secara saksama bisikan Dewi melalui telepon tidak jauh darinya. Ia memang berniat untuk tidur demi mengistirahatkan badan, tetapi kantuk segera mereda setelah sang mertua menelepon, berganti perasaan marah yang susah payah ditekan oleh Raisya.

"Raisya juga lagi tidur, jadi Theo nggak perlu buru-buru datang ke sini. Nanti bisa pake alasan Bella nggak mau jauh dari Theo. Raisya juga pasti bakalan percaya kok, karena anak-anak emang lebih lengket sama papanya ketimbang mamanya."

Tangan Raisya yang berada di samping tubuh, secara otomatis mengepal kuat. Napasnya sempat tersendat oleh amarah, tetapi Raisya menahan diri agar tidak beraksi berlebihan demi mendengarkan secara saksama setiap rencana yang ibu mertuanya hendak lakukan.

"Oke. Jangan lupa temenin makan malam ya. Biar Theo makin ingat sama masa lalu kalian," lanjut Dewi. "Ya sudah kalau begitu. Kamu fokus sama Theo. Saya tutup teleponnya."

Kepalan tangan Raisya baru meredup setelah ucapan Dewi barusan. Ia kembali merelakskan badan seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan mempertahankan posisinya walau leher terasa pegal, sampai beberapa puluh menit kemudian, bahunya disentuh lembut. Raisya spontan membuka mata, menemukan sosok tegap Theo berada tepat di depannya, menaungi wajah Raisya dari sorotan lampu rumah sakit.

"Pulang aja, Rai," ucap Theo memberikan saran. "Fella biar aku yang jaga. Kamu pasti capek kerja, 'kan?" tawarnya.

Raisya tidak langsung memberikan respons. Ia hanya memalingkan wajah sebentar ke arah lain demi mengambil kendali tubuh agar tidak mengikuti amarah dalam dirinya. Diawali embusan napas panjang, Raisya akhirnya mulai merasa tenang.

"Kamu juga pasti capek kerja, Mas," kata Raisya, sembari menarik tangan Theo agar duduk di sampingnya hingga bisa digunakan sebagai tempat bersandar yang nyaman. "Kita pulang bareng, ya? Mama pasti nggak punya kerjaan di rumah. Lagian, jaga Fella juga cuman duduk-duduk aja. Sementara kita harus tabung tenaga buat lanjut kerja besok. Mama pasti nggak keberatan, 'kan?" Di kalimat terakhir, Raisya memandang tanpa ekspresi pada ibu mertuanya.

Dewi tampak kikuk pada awalnya, bahkan memandang penuh permintaan tolong pada putra tunggalnya. Namun, Raisya segera mencegah wanita itu menolak.

"Mama ... apa nggak bisa bantu kali ini aja? Aku sama Mas Theo capek banget. Mama cuman malam aja jagainnya. Siang besok, bakalan ada Anna yang jagain. Bisa ya, Ma?"

Raisya tidak menampilkan wajah penuh permohonan sama sekali, bahkan lebih ke diktator yang memerintah dengan nada sopan dibuat-buat. Tidak ada ketulusan sama sekali.

"Tapi, Rai ...."

"Aku belum makan sama sekali dari siang tadi, Mas. Lemes banget walau cuman ke mobil, apalagi karena kaget denger kondisi Fella tadi. Jadi, tolong bantuin aku ke mobil sama sopirin pulang, ya?" pinta Raisya lagi, pada Theo.

Raisya sama sekali tidak akan membiarkan suami dan mertuanya mendapatkan satu pun celah untuk menolak setiap perintahnya. Sehingga Theo hanya bisa memenuhi secara pasrah, dan Dewi terlihat terpaksa untuk mengangguk.

Sebelah tangan Raisya membawa ponsel, sementara tangan lainnya memeluk lengan sang suami agar berdiri bersamanya. Sekadar menunjukkan kemesraan yang aneh untuk Dewi, sekaligus memicu kebingungan pada Theo.

Pelukan itu segera terpisah tepat setelah mereka berbelok di sebuah lorong. Raisya berjalan lebih dahulu, sementara Theo mengekor di belakangnya.

Raisya masuk ke mobil, awalnya agak ragu karena memandang sinis pada kursi samping kemudi yang mungkin ditempati oleh Anna tadi. Ia memejamkan mata dengan kuat, ketika berusaha menekan gejolak marah dalam jiwanya.

ANNA : Pelakor AntagonisWo Geschichten leben. Entdecke jetzt