4. Bom Hendak Meledak

230 23 0
                                    

Theo membawa masuk sebuah kardus bersamanya. Pukul empat sore, suasana dalam rumah terasa sepi, tetapi ia yakin ada orang di sini karena pintu tidak terkunci.

Pria itu membawa kardus tadi menuju kamar belakang, di mana terdapat sebuah ruangan dekat dapur untuk digunakan oleh Anna.

Mendadak saja, ketika pikiran Theo menyebutkan satu nama itu, ia menghentikan langkah tanpa diminta. Sebab, Theo harus memejam erat demi menjernihkan pikiran. Ia memaksa diri sendiri untuk terus sadar, bahwa sekarang dirinya dan Anna berada di masa berbeda dari masa lalu.

Pria itu menguatkan tekadnya—berulang kali. Melanjutkan perjalanan, tetapi baru dua langkah, ia harus berhenti lagi karena dihadang oleh perempuan yang sangat diwaspadai.

"Kayaknya berat, Pak. Mau saya bantu angkat?" tawar Anna dengan nada cerianya yang khas. Tidak berubah dari sosok Anna dahulu, yang dengan sikapnya ini membuat Theo menaruh hati pada pandangan pertama.

"Nggak perlu." Theo membuat suaranya agar terdengar dingin, sebagai bentuk penegasan pada Anna sekaligus menyadarkan diri sendiri. "Saya bisa sendiri." Ia mencoba untuk mengambil jalan lain, agar terhindar dari gadis itu.

Namun, sekali lagi, Anna menghadang. Kedua tangannya bahkan terentang. Sekarang disertai senyum tipis yang selalu berhasil membuat Theo membatu di tempat karena menikmati keindahan ciptaan Tuhan di depannya ini.

"Kerjaan saya di sini bantu-bantu, Pak. Jadi, sini, saya bantu bawa. Ini mau ditaruh di mana?" tanya Anna lagi, teguh pendirian dalam menawarkan bantuan.

"Menyingkir dari depan saya!" pinta Theo dengan lebih tegas. "Itu lebih membantu."

Sekali lagi, Theo mengelak sebisanya. Ia tidak lagi membiarkan Anna menghalangi perjalanannya dengan mempercepat langkah. Namun, perempuan keras kepala itu berlari untuk menghalangi majikannya, lagi.

"Anda nggak pernah angkat beban berat kayak gini. Jadi, biarin saya bantu, Pak." Anna juga menambahkan tingkat kepeduliannya dengan membawa sebagian dari kardus tersebut secara paksa. "Tulang belakang Anda pernah bermasalah dulu. Bagaimana kalau kumat lebih parah lagi?"

"Bukan urusan kamu!"

Theo merotasi bola mata karena malas. Di saat Anna memberikan aba-aba untuk mulai melangkah bersama, pria itu melepaskan pegangannya. Membuat si perempuan kewalahan, dan akhirnya kalah oleh berat beban kardus. Ia jatuh tengkurap sesaat setelah kardus lepas dari tangannya ke lantai.

Sempat membuat Theo hendak bereaksi otomatis, ingin menahan tubuh Anna. Namun, ia lebih dahulu melihat cincin di jari tengahnya yang menjadi penghalang melakukan bantuan tersebut, dan malah memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Theo juga memalingkan pandangan ke arah lain, ketika Anna mendongak padanya.

"Sekarang, minggir!" pinta Theo dengan suara yang mulai naik beberapa oktaf. Ia bahkan tidak segan melotot lebar demi memberikan peringatan keras untuk si wanita.

Namun detik berikutnya, perasaan bersalah langsung memenuhi hatinya. Sempat ingin meminta maaf, tetapi Theo tahan sekuat tenaga. Ia harus seperti ini, agar tidak membuka celah pintu terlarang antara mereka. Sangat sulit, tetapi Theo harus terbiasa bersikap seperti ini, untuk perempuan yang selalu menempati posisi istimewa di hatinya sedari dulu hingga sekarang.

Anna tidak lagi melawan. Ia memberikan ruang untuk majikannya mengangkat kardus berat itu lagi. Ketika merasa bahwa ia tidak dapat membantu, Anna memilih untuk kembali ke tempatnya semula—menuju halaman belakang.

Namun, baru dua kali sepatunya mengetuk lantai, seruan Theo terdengar.

"Saya mau bicara empat mata sama kamu, Anna."

ANNA : Pelakor AntagonisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang