17. Menguak Rencana

91 9 1
                                    

Untuk sesaat, Theo melupakan status Dewi sebagai wanita yang sudah melahirkan sekaligus membesarkannya. Ia mengambil ponsel milik sang mama tanpa memberikan aba-aba, dan segera berbicara dengan si penelepon.

"Anna, kamu bawa ke mana Fella? Saya tidak akan biarkan kamu mati sebelum saya siksa kalau kamu melakukan hal buruk ke anak saya!" ancam Theo dengan serius, bahkan gigi-giginya saling menekan, menunjukkan betapa dalam amarah yang sedang ia kendalikan saat ini. "Di mana putri saya!"

Hening sejenak, sampai Theo berpikir bahwa sambungan sudah dimatikan. Namun, mendengarkan suara embusan napas kasar yang bergetar di seberang sambungan, membuat Theo yakin bahwa Anna masih terhubung dengannya.

"Bella ada sama gurunya, dan Fella sama tetangga rumah kamu. Mereka semua aman. Nggak perlu khawatir," jawab Anna dengan tenang.

"Nggak perlu khawatir kamu bilang?" Theo mendengkus geli, sembari memijit pelipis ketika pikiran dan perasaannya terbagi dua. "Kamu hampir bunuh istri saya, sialan! Kamu mau bunuh istri saya! Shit .... Saya benar-benar ... benci hari di mana saya kenal kamu, Anna! Saya benar-benar benci kamu! Kalau satu saja bagian dari tubuh Raisya cacat karena kecelakaan ini, saya bersumpah ... saya bersumpah akan kejar dan bunuh kamu, Anna! Saya ... bersumpah!"

Theo mengucapkan kalimat terakhirnya dengan penuh penekanan yang menyebabkan gigi gerahamnya bergetar. Ia tidak menunggu balasan berupa ucapan dari Anna, sebab, bunyi helaan napas perempuan itu saja sudah hampir meluluhkan kemarahan Theo.

Sambungan dimatikan, tetapi tidak diberikan pada Dewi yang menunggu. Sekarang, Theo menghadap Dewi dengan pandangan tajam mengintimidasi.

"Apa yang Mama mau sekarang?" tanya Theo dengan suara lemah pada awalnya. "APA YANG MAMA MAU?! APA NGGAK CUKUP AKU IKUTIN SEMUA KEMAUAN MAMA DENGAN TERIMA PERJODOHAN YANG NGGAK AKU MAU SAMA RAISYA SEBELUMNYA?! KENAPA SEKARANG MAMA MALAH MAU MENYAKITI RAISYA? KENAPA?"

Theo kehilangan kendali dirinya. Ia menarik dua bahu Dewi dan membantingnya ke dinding dengan cukup kasar. Sempat membuat Theo menyesal, tetapi ia benar-benar sudah kehabisan kesabaran.

"Mama mau jauhin aku dari Anna, dan paksa aku terima Raisya. Aku penuhi, Ma! Kalau Raisya menantu yang Mama pilih, kenapa sekarang Mama malah mau bikin dia celaka? Raisya salah apa, Ma? Dia kenapa, sampai Mama harus melakukan banyak rencana buruk buat dia? Aku tahu, Mama bukannya nggak sengaja buat pilih Ana sebagai pengasuh anak-anak, 'kan? Mama mau ... ngerusak hubungan aku sama Raisya, 'kan? Kenapa, Ma? Jelasin! Aku nggak paham .... Aku nggak paham cara berpikir Mama! Aku ... nggak paham! Dan aku udah muak sama setiap rencana Mama buat aku!" ucap Theo dengan suara lemah putus asa. Kepalanya tertunduk dalam, ketika perasaannya semrawut seperti pikirannya.

Dewi tidak langsung menjawab, dan sama sekali tidak terpengaruh dengan setiap kemarahan yang ditunjukkan oleh putranya. Bahkan, tatapan perempuan itu berubah sendu, dengan senyum tulus yang samar terlihat.

"Untuk membahagiakan anak Mama, dan cucu-cucu Mama," jawab Dewi dengan pelan setelah hening beberapa saat.

"Membahagiakan apa yang Mama maksud? Dengan membuat Raisya celaka? Dengan menyingkirkan Raisya? Mama pikir aku seneng jadi duda, dan anak-anak aku jadi yatim? Mama mau cucu-cucu Mama kehilangan sosok ibunya? Mama ... aku nggak paham jalan pikiran Mama! Aku nggak tahu ...."

"Itulah masalahnya. Semua orang cuman paham maksud Mama setelah hasil yang Mama mau sudah terlihat," jawab Dewi dengan suara lirih. "Tapi percaya sama Mama, Theo, Mama nggak bakalan pernah mau menyingkirkan Raisya. Kalau Mama mau, Mama nggak bakalan donorin darah buat Raisya. Mama cuman mau ... pernikahan kalian berjalan normal seperti kebanyakan hubungan lainnya, saling berbahagia, dan sudah seharusnya."

"Aku nggak paham," balas Theo dengan lemah. Ia melepaskan cekalannya, dan mulai mundur untuk memberikan ruang agar Dewi bergerak leluasa. "Jelasin sekarang! Semua tujuan Mama! Serumit apa pun itu! Aku mau tahu ... semuanya!"

ANNA : Pelakor AntagonisWhere stories live. Discover now