5 : Keluar Dari Tempat Persembunyian

132 19 34
                                    

Pria itu memasukkan makanan yang tak akan mudah basi, air, serta beberapa hal seperti pakaian dalam juga pembalut serta obat-obatan kalau-kalau dibutuhkan. Dia tak mengambil banyak hal dan kalap di sana karena semakin banyak yang dia bawa, maka tasnya akan semakin menghalangi dia untuk bergerak. Itu malah akan semakin membuatnya sulit menghindar dari makhluk aneh yang mengejar mereka.

"Senjata." Hampir saja Juna lupa. Dia membutuhkan sesuatu untuk berlindung. Dia mengambil beberapa pisau. Sepertinya itu akan cukup untuk melawan monsternya.

"Tajem," gumamnya saat mencoba pisau tersebut untuk melubangi bantal yang kebetulan ada tak jauh dari rak tempat pisau itu dipajang.

Juna tak setenang itu. Menjadi seseorang yang pernah ikut dalam tawuran, tentu membuat instingnya cukup bagus. Telinganya juga sangat tajam terhadap suara sekecil apa pun. Jadi, dia merasa percaya diri bisa melewati masa sulit ini dengan sangat keren seperti tokoh utama dalam film ber-genre survival favoritnya.

"Jan—" Umpatan itu bahkan belum sempat diteruskan. Sesuatu yang mirip dengan cacing kawat namun dengan ukuran lebih besar, membelit kakinya. Tentu Juna cukup bingung harus berbuat apa. Satu hal yang pertama kali ada di pikirannya kali ini adalah bersikap tenang. Membuat keributan malah akan membuat makhluk aneh itu keluar dari persembunyian mereka.

Juna meringis saat belitan makhluk itu semakin erat sampai rasanya mampu untuk mematahkan tulang keringnya. Namun, Juna bingung bagaimana cara melepasnya. Hingga dia ingat di tangan kanannya masih ada pisau. Dia akan menggunakannya.

Juna menutup mata kala darah menyiprat ke arah wajahnya. Segera dia berlari setelah belitannya terlepas. Bulu kuduknya terasa berdiri. Hampir saja dia kehilangan nyawa karena kemunculan makhluk aneh selain yang dia lihat sebelumnya.

"Ah iya!" Juna tak langsung menghampiri tempat Juwi bersembunyi. Dia berbelok ke tempat alat elektronik. Saat datang tadi, dia sempat melihat tempat penjualan ponsel dan televisi. Mereka pasti membutuhkan ponsel untuk memberikan kabar. Jadi dia mengambil 1 ponsel serta kartu sim.

"Maaf, Ya Allah, Juna gak maksud," gumam Juna. Dia tahu mencuri adalah hal yang berdosa. Namun, saat ini terlalu darurat. Mereka bahkan belum tentu bisa segera pulang. Jadi, ponsel akan sangat berguna.

Juwi mengembuskan napas lega kala pria itu tiba di tempatnya bersembunyi dengan sebuah tas punggung hitam serta 2 buah ponsel dan ... Kartu sim. Pria itu sungguh terlihat seperti perampok sekarang.

"Kita lebih butuh ini." Juna mengambil ponsel yang ada di display. Jadi, baterainya terisi. Setidaknya cukup untuk digunakan mengirimkan pesan. Selagi Juna berkutat dengan ponsel, Juwi hanya memerhatikan. Dia kemudian merogoh saku atasan seragamnya, memberikan selembar tisu yang sejak kemarin ada di sana.

"Gue liatnya serem."

"Makasih." Juna menyeka cipratan darah yang tadi dia dapatkan dari cacing aneh itu. Ah, dia bahkan tak tahu harus menyebutnya sebagai apa. "Ada monster yang lain."

"Yang lain?"

"Bentuknya aneh, kayak cacing, tapi ukurannya gede, tapi bukan uler juga. Pokonya aneh deh." Juna tersenyum saat berhasil mengaktifkan ponsel itu. Namun, dia segera menghela napas saat tak terdapat sedikit pun sinyal di sana. "Apa internetnya dibatas ya?"

"Serius?"

"Bahkan gak ada sinyal sama sekali buat nelpon pun," ujar pria itu sembari memperlihatkan layar ponsel itu. "Kondisinya udah serius banget berarti. Tapi ... Apa di daerah lain juga gini?"

Sementara, di lain tempat, orang-orang sedang mengadakan pemungutan suara. Keputusan apa pun yang akan diambil, akan benar-benar memengaruhi nasib mereka. Entah berakhir menjadi mayat, atau pulang dengan selamat.

Pulang [End] Where stories live. Discover now