30 : Hati-Hati

89 14 32
                                    

Jakarta, Oktober 2023

Juna berusaha melepas tali yang terikat di tangannya. Namun, dia berakhir berdecak dan menendang-nendang kakinya untuk melampiaskan rasa kesal. Masalahnya, baru 10 menit dirinya berusaha.

"Ju ...." Pria itu mem-pout-kan bibir berharap ini akan membuat gadis yang sejak tadi sibuk merapikan tempat untuk sekadar mengistirahatkan diri. "Ini masa ditali lagi. Kalopun monsternya gara-gara gue, harusnya gak ditali dong."

"Cerewet banget sih," kesal Juwi yang merasa kepalanya cukup sakit. Wajar, dia sangat kurang tidur. Andai ada kamar mandi, dia sungguh ingin mandi dan mengganti pakaiannya yang sudah terasa tak enak itu. Namun, dia terlalu takut. Monsternya bisa ada di mana pun. "Kalo ada apa-apa, teriak aja."

"Ini ...." Juna menghela napas saat Juwi merebahkan diri di atas tumpukan karung yang dia kumpulkan kemudian menutup wajahnya dengan topi. "Lepas dulu ih."

"Lo bisa kabur kalo dilepas," ujar Theo kemudian menghampiri Juna. Dia membuka perban yang membalut luka Juna dan benar saja, lukanya seakan memang takkan kering. Bahkan akar hitam yang sebelumnya pendek, kini mulai memanjang. Dia kembali menutup lukanya, memundurkan langkah hingga membuat Juna menatapnya bingung.

"Tuh kan dibilang juga apa, lepasin gue karena bareng gue malah jauh lebih bahaya," ujar Juna diiringi helaan napas. Kemudian kembali berusaha melepas tali itu meski tetap saja dirinya berakhir tantrum karena talinya diikat cukup kencang. Bahkan, ini membuat Juwi harus kembali membuka mata.

"Gue baru tidur loh. Lo teriak-teriak mulu heran."

"Makanya lepasin." Pria dengan balutan jaket bomber itu terlihat cukup kesal. Bahkan kali ini bukan cuma main-main seperti biasanya. "Kalo gak mau dilepas tembak aja gue."

"Jun ...." Juwi ikut kesal mendengar ucapan pria itu. Padahal mereka berdua sudah rela kembali meski akan diselamatkan. Namun, yang mereka dapat malah seperti ini?

"Kalian bakalan mati kalo gue tetep bareng kalian. Lepasin sekarang!" Juna benar-benar meluapkan rasa marahnya. Bahkan, dia sampai berdiri meski tangannya masih terikat di tiang. Dia menghampiri Theo, menatapnya dengan tajam dan tubuh yang gemetar karena kemarahannya yang menggebu. "Bang, nyelametin 2 nyawa lebih penting sekarang."

Bukannya mengarahkan senapan itu pada Juna, Theo segera memeluknya. Bahkan tatapan Juna lebih didominasi dengan tatapan takut dan sedih. Bukan tatapan yakin soal permintaannya.

Tadinya dia ingin menyembunyikan soal hal yang dia ketahui dari pasukan yang sibuk berpatroli itu. Namun, dia merasa Juna juga harus tahu kondisinya saat ini. Andai bisa diulang, dia mungkin tidak akan memberitahu Juna soal lukanya agar pria itu tak merasa sangat takut akan melukai.

"Jun, kita bakalan cari cara biar kamu gak lukain kita," ujar Theo sembari menepuk halus punggung pria itu saat merasa tubuh Juna gemetar dan menahan isakan. Dia tahu, meminta untuk ditembak saat sedang sama-sama berjuang untuk bertahan hidup bukanlah pilihan yang mudah. Namun, Juna malah memilihnya hanya karena takut melukai mereka. Padahal, mereka kembali dengan berbagai pertimbangan termasuk soal risikonya. 

"Iya, Jun, kita bakalan cari tau bareng-bareng. Pasti ada caranya." Juwi melipat kedua tangannya dari jauh. Hatinya terasa ikut tersentuh melihat bagaimana hubungan pertemanan mereka bisa sehebat ini. Padahal semuanya terjalin secara tak terencana. Yang penting bagi Juwi adalah dia takkan tertular virus gila kedua pria itu.

"Gue jadi makin sayang deh sama lo, bang."

"Jun, saya gak bawa baju ganti loh." Bagi Theo, apa pun soal Juna itu benar-benar tak bisa diprediksi. Sekarang pria itu malah menyeka ingus di kaus putihnya yang sejak awal tak diganti. "Jorok banget kamu."

Pulang [End] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang