19 : Racun?

85 19 57
                                    

"Sumpah gue gak bisa tahan lagi," ujar Harsa sembari beranjak dari duduknya. Bertahan dalam penjara tanpa persediaan makanan tentu saja membuatnya frustrasi. Namun, bukan hal yang mudah untuk mereka keluar dari tempat itu. Apalagi, mengingat bagaimana mereka dikurung di sana, artinya memang tempat itu akan sulit ditemukan. Apa dia bisa berharap seseorang akan menyelamatkan mereka? Tentu tidak.

Suasana makin panas karena terasa seperti ada 2 kubu dalam sel yang sama. Ya! Buntut dari ketidak mauan Mona dan Danti mengatakan sesuatu soal penelitiannya, benar-benar membuat mereka diabaikan Yona. Yona berpikir kedua mahasiswa yang punya keuntungan ikut dalam penelitian itu sombong dan merasa paling setia hanya karena menandatangani perjanjian di awal. Padahal, mereka tetap berakhir di sana. Bukankah akan lebih bagus jika mereka buka suara?

"Pintunya susah dibuka dan cuma bisa dibuka dari luar. Bahkan tangan Naya yang kecil aja gak bisa ngeraih gembok itu," ujar Nathan yang kini mulai tenang. Padahal sebelumnya, pria itu sangat menggebu untuk bisa keluar dari sana. Namun, setelah Naya membujuk, akhirnya Nathan bisa mencoba lebih tenang untuk memikirkan solusi yang paling tepat.

"Bang, lo yang bikin kita semua di sini. Kalo aja lo gak keras kepala buat nyelidikin soal penelitian ini, kita semua gak akan di sini dan dipukulin cuma untuk nyimpen bukti-bukti yang dikumpulin."

Lagi. Adu mulut lagi-lagi jadi hal yang terjadi dalam sel itu. Wajar, mereka sudah sama-sama muak apalagi dengan perut yang sejak kemarin hanya diisi air. Itupun dari keran. Ditambah dengan Mona juga Danti yang tak bisa diajak bekerja sama, membuat Harsa dan Yona terus meledak-ledak. Bahkan ini sudah kali ketiga emosi mereka tersulut tiba-tiba.

"Saling nyalahin gak akan bisa bikin kita keluar, Sa."

"Kalo dari awal dia gak keras kepala, Nay, kita gak akan berakhir di sini dan tutup mulut soal Inc. Lo mau bela orang kayak gitu?"

Naya menghela napas, menurunkan tangan Harsa yang menunjuknya. "Sa, harusnya lo berterima kasih sama Bang Nathan. Kalo dia gak minta kita tutup mulut, kita bisa berakhir kayak Bang Rendra yang bahkan sampe sekarang kasusnya masih gantung. Mereka menganggap organisasi kita pengkhianat dan cuma mau kita mati untuk ngubur bukti yang kita kumpulin."

Harsa memilih untuk tak membalas. Dia berteriak sembari mengacak rambutnya. Melawan Naya malah akan membuatnya menunda kekalahan. Meski Naya bukan ketua Inc, gadis itu selalu berhasil jadi penengah jika mereka bertengkar. Apa pun yang dibicarakan, Naya selalu bisa mengalahkan lawan bicaranya dengan ucapan-ucapan tenang tapi benar-benar menyakitkan.

"Yang mereka teliti ... Monster." Mona yang sejak kemarin memilih memeluk lutut sembari memainkan debu untuk dijadikan lukisan itu akhirnya bersuara.

"Apa?" Suara itu tak terlalu terdengar. Makanya dia meminta Mona mengatakannya lagi.

"Objek penelitiannya, monster dan dia ilang sehari sebelum kami ditangkap," sahut Danti.

"Monster? Maksudnya?"















Juwi sempat hampir terjatuh karena rasa kantuk yang menyerang. Namun, tertidur bersama Juna yang sebelumnya membuat sesosok makhluk lain muncul dan menjerat kaki Theo, bukanlah pilihan yang tepat. Apalagi, gudang tempat mereka bersembunyi benar-benar gelap.

"Tidur aja." Theo yang sedari tadi bisa tahu Juwi tak tidur. Bagaimana tidak? Kejadian siang tadi sudah cukup membuat gadis itu ketakutan. Apalagi, Juwi yang memotong makhluk mirip parasit itu hingga darahnya menyiprat ke mana-mana.

Theo punya pengalaman melakukan investigasi kliennya. Jadi, tidak tidur 2 hari bukanlah hal yang berat baginya. "Atau ... Mau saya nyalain hp saya? Biar gak terlalu gelap."

"Juna gak akan meninggal 'kan?"

Theo tersenyum kemudian menggeleng. Meski dia juga tak tahu soal kepastiannya, berpikir positif adalah hal yang penting bagi mereka. Setidaknya agar mental mereka tetap aman menghadapi monster ganas itu. "Gak akan kayaknya. Demamnya barusan udah agak turun dan dia minta minum."

Juwi sebenarnya cukup takut pria itu berakhir tiada. Bukan apa-apa. Dia tak mau melanjutkan hidup dengan rasa bersalah lagi seperti setelah sang ayah meninggal dalam kecelakaan bersamanya. Dia sampai berandai-andai jika waktu bisa diputar lagi, mungkin dia akan menarik Juna untuk ikut alih-alih berlari sendiri untuk menyelamatkan diri. Padahal Juna tidak pernah melepaskan tangannya jika mereka berdua dalam bahaya.

"Lucu," puji Juwi saat mendapati layar kunci milik Theo menunjukkan seekor kucing ras himalaya dengan mahkota kecil serta perona di pipinya.

"Ah, ini putri saya. Namanya Kiko."

"Putri?"

Pria itu mengangguk dengan antusias. "Saya adopsi dia karena dia dibuang sama yang punya. Cantik 'kan? Sebelum saya pergi, dia sempet ngamuk gak ngebolehin saya pergi sampe gigit celana. Ternyata dia punya feeling yang kuat."

Juwi bingung harus memberi respon apa. Meski mereka tak banyak bicara, dia sempat mendengar Theo menyebutkan soal putrinya yang menunggu di rumah saat berbincang dengan Juna. Mereka berdua memang terkadang mengobrol dengan topik acak hingga Juwi merasa lebih baik tak ikut bicara. Dia tak menyangka 'putri' yang Theo maksud adalah seekor kucing. Garis bawahi, seekor kucing.

Suara batuk membuat keduanya waspada. Dengan segera Theo mengarahkan senter ponselnya dan terkejut saat Juna terduduk dengan darah yang nampaknya keluar dari mulutnya. Apa serangan monsternya seberbahaya itu.

"Ju ...." Theo menghela napas. Dia merasa Juna dan Juwi adalah sepasang anak kembar yang tak bisa dipisahkan. Bahkan Juwi tanpa ragu menghampiri pria itu. Padahal Theo sempat berpikir Juna berubah jadi zombie. Ya! Dia termakan film fiksi.

"Kalian ... Pergi ... Aja," ujar Juna diakhiri batuk. Dia merasa tubuhnya benar-benar tak memungkinkan untuk pergi dari sana. Padahal, mereka harus segera pergi agar bisa selamat. Bahkan, stok makanan yang dia bawa juga sudah menipis. Terus menunggunya pulih malah akan membuat mereka dalam bahaya di sana.

"Kita janji buat pulang selamat bertiga 'kan? Lo gak boleh gitu."

Pria itu tersenyum kemudian meletakkan dagunya di bahu Juwi yang kini memeluknya. "Kapan lagi ... Dewi kutub ... Meluk gue."

Theo memukul pelan dahinya. Bahkan di saat seperti ini, Juna masih bisa melontarkan godaan seperti itu? "Tenang aja, kita gak bakalan ninggalin lo. Kamu pasti bisa sembuh."

Theo meminta Juwi memegangi senternya agar dia bisa memeriksa luka Juna. Dia harap tak ada lagi infeksi seperti sebelumnya atau nyawa mereka benar-benar dalam bahaya tiap saat jika bersama Juna.

"Untungnya luka kamu gak infeksi. Mungkin bentar lagi sembuh," ujar Theo setelah mendapati luka itu agak membaik meski masih basah.

"Gimana ... Kalo ... Racunnya udah terlanjur nyebar? Bang ... Bawa Juwi."

Memang, dia tak tahu mengapa darah bisa keluar dari mulut Juna. Entah efek samping atau apa. Namun, dia berharap monster itu tak punya racun. Dia sudah menganggap Juna dan Juwi seperti adiknya meski terkadang mereka cukup menyebalkan.

"Saya yakin bukan. Pokonya, kita tungguin kamu sembuh. Itu bukan racun."

"Kenapa ... abang seyakin itu?"

*****

Anaknya Theo kucing ges😭😭🤣 Theo passwordnya apa? Jangan percaya😭

22 Sep 2023

Pulang [End] Onde histórias criam vida. Descubra agora