CHAPTER 22

21.3K 1.6K 8
                                    

Setelah perjalanan yang menguras tenaga dari Aquridge dan Maritopia. Sera akhirnya tiba kembali ke istana Imperium. Langit senja terhampar di belakang istana, menciptakan latar belakang yang memukau bagi gedung yang menjulang kokoh di depannya. Lantas Sera turun dari kereta kuda yang telah membawanya kembali ke istananya.

Langkah kakinya melangkah dengan lemah lembut di atas jalan batu yang halus, dan dia merasakan angin sepoi-sepoi istimewa yang menerpa wajahnya. Di sekitarnya taman-taman indah dipenuhi dengan bunga-bunga yang mekar dan air mancur yang gemericik, menciptakan suasana yang menenangkan setelah perjalanan yang panjang.

"Tolong bawakan barang-barang itu ke kamarku, ya." 

"Baik, Nona."

Setelah menyuruh beberapa pelayan istana yang sudah menunggu untuk membawakan semua barang belanjaannya ke kamarnya. Pelayan-pelayan itu dengan sigap mengangguk mengerti. Kemudian membawanya pergi dengan hati-hati.

Namun, saat Sera mulai melangkah menuju kamarnya pribadinya. Ia menoleh saat matahari senja yang hangat seolah-olah memudar dari pandangannya. Tapi pikirannya tiba-tiba terhenti oleh ingatan yang menghantamnya. Ingatan tentang Lucian saat pria itu menolongnya di Maritopia, tiba-tiba hadir dalam pikirannya. Sial, secara tiba-tiba ia merasa jantungnya berdegup lebih cepat.

Tapi aneh apa yang dilakukan pria itu di wilayah Imperium Marinos. Lalu pakaian yang digunakannya pun tampak aneh. Tudung itu terlihat kebesaran untuknya hingga menutupi keseluruhan wajahnya. Tapi meski begitu, hal itu tak menutupi ketampanannya.

Tunggu, kenapa ia kembali memuji pria itu. 

Tanpa sadar Sera menggelengkan kepalanya. Ingat ia harus menjauhi pria itu demi masa depanmu agar tak berakhir mengerikan seperti sebelumnya. Namun, Sera masih tetap ingat bagaimana Lucian melepar pedangnya ke arah sebuah pohon yang berada di dekatnya. Meskipun pedang itu meleset dan menancap dengan kokoh di pohon, tetap saja itu hampir mengenainya. Mengingat hal itu membuat Sera merasa kesal bukan main. 

Namun, dalam kilasan momen itu ada yang menarik perhatiannya. Kalimat yang dilontarkan oleh Lucian masih dengan jelas teringat dalam pikirannya. Lucian yang saat itu menatapnya dengan ekspresi datarnya mengatakan jika dirinya tak bisa di ajak bicara baik-baik.

Mengingat itu Sera tersenyum sinis saat ingatan akan kalimat itu muncul dipikirannya. Dia bilang ia tak bisa diajak bicara baik-baik. Cih, padahal di kehidupan sebelumnya pria itu yang tak pernah bisa diajak bicara baik-baik. Tapi kini dia justru mengatakan itu padanya.

Tanpa disadarinya, Sera merasakan gemuruh di dalam dadanya. Kepalanya tertunduk, alisnya merosot menjadi ekspresi yang mengerut, dan tangannya menggenggam erat di sisinya. Rasa kesal merayap tanpa ampun. Kembali pada dunia sekarang, dia mencoba menghirup udara dalam-dalam untuk menetralisir hal itu. Tapi tetap saja rasa kesalnya tak berkurang sedikitpun.

Sera berdecak sebal, melanjutkan kembali langkahnya menuju kamarnya. Sera tiba di pintu kamar pribadinya, yang terbuka dengan lembut seiring langkah kakinya. Cahaya lembut dari lilin-lilin menyambutnya, menciptakan suasana hangat dan nyaman di dalam ruangan yang elegan. Sontak Sera menjatuhkan dirinya pada tempat tidurnya. 

Sungguh ia benar-benar lelah hari ini.

*****

Pagi ini matahari merambat naik ke langit dengan sangat tinggi, mengusir kegelapan malam dengan sinar yang hangat. Suasana di dalam istana Imperium pun terasa hidup. Dengan kegiatan persiapan dan keceriaan yang menandai kedatangan yang telah lama dinantikan. 

Hari itu segalanya tampak istimewa, dan bagi Sera itu adalah hari yang telah ia tunggu-tunggu dengan harap-harap cemas. Sera merasa seperti detak jantungnya berdetak dengan cepat saat menyadari bahwa hari yang dinanti telah tiba. 

The Conqueror of Blades and HeartsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang