Lima

5.3K 221 65
                                    


Aku tak tahu apa yang perlu kulakukan untuk menghapus rasa bersalah ini. Sepanjang mengisi kelas, kepalaku tak pernah berpaling dari wajah tampan Mas Angga dan genggaman tangan kami sembunyi-sembunyi di dalam mobil. Semacam ada setrum listrik yang nikmat ketika kulit tangan kami bersentuhan.

Aku sudah melakukan salat Duha pada jam istirahat pertama untuk melenyapkan pikiran kotor itu. Namun, tak berhasil. Usai salat Zuhur, aku wirid cukup lama hingga hampir habis waktu istirahat makan siang, demi memohon ampun kepada Allah Swt. Akan tetapi itu tak membantuku apa-apa. Pada jam pelajaran terakhir, aku malah merindu pada sosok Mas Angga.

Aku rindu pada senyumnya.

Aku rindu pada wajahnya yang tampan.

Aku rindu pada burungnya yang belum dikhitan.

Aku sudah gila. Sungguh.

"Pak Lanang, mau Asar sama-sama?" tanya Pak Deden, menepuk bahuku.

Aku menoleh dan mengangguk kecil. "Boleh, Pak Deden. Sebentar, saya bereskan meja dulu."

Kegiatan belajar mengajar sudah selesai sejak pukul 14.30 lalu. Semua guru masih ada di mejanya untuk merekap kegiatan hari ini atau memeriksa hasil ulangan murid-murid. Kami baru diizinkan pulang pukul 4 sore. Selama menunggu di mejaku, aku tak henti-hentinya melamunkan soal Mas Angga.

"Siapa yang piket azan hari ini, Pak?" tanyaku, sembari berjalan menjejeri Pak Deden dan memasang peciku.

"Kayaknya siswa, Pak. Dari ekskul tahfidz," jawab Pak Deden. Beliau adalah guru Aqidah Akhlak yang juga menangani segala urusan masjid sekolah. Misalnya jadwal muazin, khatib, imam, dan segala kegiatan yang dilangsungkan di masjid. "Gimana persiapan pagelarannya, Pak Lanang?"

"Alhamdulillah, lancar Pak. Anak-anak OSIS membantu saya mencarikan sponsor dana untuk acaranya nanti. Inshaallah berjalan sesuai rencana."

Aku adalah guru Seni Budaya yang juga merangkap guru bahasa Inggris dan Prakarya. Makanya jadwal mengajarku benar-benar padat di sekolah ini. Aku tak bisa mengambil pekerjaan lain di sekolah lain. Sebagai guru Seni Budaya, aku bertanggung jawab untuk pagelaran seni yang akan dilaksanakan di sekolah dalam waktu dekat.

"Saya kira lagi ada masalah," ungkap Pak Deden sambil terkekeh. "Habisnya dari tadi Pak Lanang melamun terus."

Aku menelan ludah, tak menyangka gesturku diperhatikan guru yang lain. "Enggak kok, Pak. Saya cuma kepikiran hal yang lain aja."

"Kepikiran apa?"

Enggak mungkin aku cerita juga, kan? Bisa dirajam sampai mampus kalau aku bilang aku berselingkuh dengan teman kantornya pacar cowokku. "Masalah keluarga aja, Pak. Bukan masalah besar."

"Kalau sedang menghadapi pilihan yang meragukan, salat Istikharah saja, Pak. Inshaallah bakal ada jalan."

Enggak mungkin juga sih Pak Deden, aku salat Istikharah untuk memilih antara Abi atau temannya Abi. "Iya, Pak, makasih sarannya. Inshaallah saya enggak apa-apa."

"Mungkin salat Hajat saja, Pak," usul Pak Deden, tak henti-hentinya mencoba menjadi psikologku. "Atau salat Taubat."

Aku sudah membuka mulutku untuk berterima kasih kepada Pak Deden dan meyakinkannya sekali lagi bahwa aku baik-baik saja. Namun usulannya yang terakhir kurasa ada benarnya. Aku bisa memohon ampun kepada Allah Swt melalui salat Taubatan Nasuha. Salat yang dilakukan ketika melakukan sebuah kesalahan. Mungkin ini adalah jawaban atas kegelisahanku selama seminggu terakhir. Pun untuk menghapus rasa bersalahku pagi ini berpegangan tangan dengan sahabat dari kekasihku sendiri.

(4) Digoda Mas AnggaWhere stories live. Discover now