Dua Puluh Enam (Bag. B)

1.8K 94 13
                                    


Innalillahi ....

Aku tak sadarkan diri selama tiga hari.

Hari pertama, hari ketika Abi memukulku dengan busur panah itu, aku masuk IGD dan mendapatkan penanganan. Hari yang sama, aku dipindahkan ke ICU (Intensive Care Unit). Aku diawasi selama 24 jam dan dinyatakan mengalami peningkatan yang signifikan, tetapi masih belum siuman. Aku dipindahkan ke HCU (High Care Unit), dan kembali menunjukkan peningkatan yang baik, tetapi masih belum siuman. Akhirnya aku dipindahkan ke sebuah ruang rawat inap kelas VIP, di mana hanya ada aku saja di dalamnya. Selama 24 jam aku ditemani teman-temanku hingga akhirnya, sore ini, aku siuman.

"Just so you know," kata Leo, "kita udah retrieve barang-barang elo di kosan yang di Bandung ini. Gue udah bawa banyak hal, mungkin barang si Akbar juga kebawa, tapi gampanglah soal itu mah, bisa kita kirim aja belakangan. Yang penting elo udah dapatin lagi barang-barang esensial elo. KTP, hape, laptop, buku tabungan semua aman."

"Yawlaaa ... hampir keciduk ya kita, Shay," tambah Romi. "Pas banget kita ngangkut barang-barang terakhir keluar gerbang, eh polisi datang, Shay. Mau menggeledah kosannya si Akbar itu. Mau mencari tanda-tanda dia menyetir dalam keadaan mabuk."

"Ke ... kenapa digeledah polisi?"

"Honey ..., kamu kecelakaan lalu lintas. Mobil yang kamu tumpangin hancur dan ada korban jiwa. Si Akbar itu yang nyetir."

Ya. Rupa-rupanya, aku masuk rumah sakit karena kecelakaan lalu lintas, bukan karena aku dipukul oleh busur panah. Aku tidak mengingat sedikit pun yang terjadi dalam kecelakaan itu. Ingatan terakhirku adalah ujung busur itu menghantam wajahku. Aku mendengar suara BUK! BUK! BUK! Disertai rasa perih dan puyeng di kepalaku ..., lalu semuanya gelap.

Sadar-sadar, aku mendengar bunyi bip bip bip yang beritme konstan dan aku seperti tinggal dalam sebuah ruang kosong bersama bunyi bip bip bip tersebut. Pikiranku berfungsi, tetapi tubuhku tidak. Aku mendengar bip bip bip itu semalaman. Atau sepanjang siang. Aku tidak bisa melihat penunjuk waktu karena aku tak bisa melihat apa-apa. Kadang aku mendengar orang-orang berbicara, tetapi aku tak bisa merespons. Kadang aku merasa aku berteriak, tetapi aku tak mendengar apa pun. Tak ada pula reaksi dari orang-orang sekitarku.

Aku mengenali masing-masing suara Leo, Enzo, dan Romi di sekitarku. Kadang kudengar suara Tino dan Panpan, tetapi tidak sesering yang lain. Aku tak pernah mendengar suara Angga.

Seringkali, pikiranku hilang juga dan aku tidak ingat apa-apa. Baru saat tiga temanku itu membicarakan rahasia dan menggenggam tanganku, aku mencoba bereaksi dan reaksiku benar-benar terkirim ke dunia nyata.

Aku terbangun setelahnya. Sampai hari ini tidak memiliki gambaran sama sekali tentang kecelakaan mobil itu.

"Gi ... gimana kejadiannya?" tanyaku.

"Jadi gini, Shay .... Pada suatu hari—"

"Romi! Romi ...," sela Leo. "Kayaknya enggak bijak kita ceritain soal itu sekarang. Come on. Lanang baru bangun."

"Dia yang minta."

"Iya, tapi ini baru berapa jam sejak dia siuman. Kita cicil aja ceritanya. Toh Mas Angganya lagi enggak di sini juga. Mungkin ada baiknya kita nunggu sampai Mas Angga bisa gabung di sini, jadi dia bisa cerita langsung juga."

"Di mana Angga?" tanyaku, dengan suara lirih.

"Mas Angga di ruang kelas satu, Mas," jawab Enzo. "Kemarin kita prioritasin Mas dulu, mengingat Mas kan enggak sadarkan diri. Kalau Mas Angga sih masih bisa ngisi BPJS-nya sendiri di IGD pas pertama masuk."

(4) Digoda Mas AnggaWhere stories live. Discover now