Dua Puluh Delapan (Bag. A)

1.4K 87 7
                                    


Tenang aja, aku enggak jadi islamofobik, kok. Aku menemukan caraku sendiri untuk beriman dan aku mengimaninya dengan nyaman. Pendekatanku, jujur saja, lebih modern. Aku memercayai ada beberapa hal yang tidak bisa kita aplikasikan saat ini karena konteksnya sudah tidak tepat lagi, dibandingkan dengan periode di mana Islam diturunkan.

Dalam Islam, kita boleh memiliki budak dan menyetubuhinya, lho. Tapi masa iya zaman sekarang kita mau melakukan itu? Kurasa ada beberapa hal yang bisa kita sesuaikan, sejauh kita tahu alasan mengapa Allah swt. menciptakan perintah tersebut, lalu perkembangan teknologi bisa membantu kita mengatasi sumber masalahnya.

Banyak deh pokoknya yang kupelajari selama sebulan terakhir. Aku bertemu dengan Wahyu dan Mariam cukup sering, membahas spiritual dan ketuhanan dengan lebih mendalam. Aku tak percaya aku menemukan Tuhan justru ketika aku mengobrol dengan seorang ateis. Mereka membuatku melihat agamaku dari berbagai sisi, tidak satu arah seperti mengenakan kacamata kuda. Aku bersyukur akan hal itu.

Salatku lebih tulus. Zakatku lebih tulus. Setiap kali aku melihat perbedaan dari yang kuyakini, aku enggak gampang marah. Aku percaya bahwa Allah swt. memang menciptakan manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa, dan semuanya berbeda ... agar kita saling mengenal dan belajar.

Bukan saling menghakimi atau mendiskriminasi.

Aku sempat pulang ke rumahku di Bogor selama dua minggu untuk menyembuhkan diri. Angga bolak-balik menjengukku sambil membawakan banyak sekali makanan untuk kukonsumsi, agar aku gendutan dan luka-lukanya cepat sembuh. Dua minggu kemudian aku sudah mendapatkan pekerjaan di Jakarta sebagai guru di sebuah sekolah internasional yang murid-muridnya beragam.

Gajinya lumayan. Baru masuk, gajiku tiga kali lipat dari gajiku sebelumnya. Cuma lokasinya agak jauh, aku harus naik KRL dan transit di Tanah Abang, lalu aku turun di stasiun terdekat dan masih harus naik TJ dan juga ojek. Alhamdulillah, sekolah ini memulai pelajaran pukul sembilan setiap harinya. Jadi aku tidak perlu berangkat tergesa-gesa pukul enam pagi.

Kenapa aku tidak ngekos di dekat sekolah itu saja?

Well ..., karena aku sekarang ngekos di Kosan Hamid lagi.

Bareng Angga.

"Gue pulang cepat hari ini. Udah OTW kosan. Elo ada di kosan jam berapa, Beb?"

"Aku udah mau nyampe kosan malah. Aku tungguin kamu ya, Ay?"

"Sip! Gue nyampe sekitar ... setengah jam lagi mungkin? Baru selesai orientasinya."

"Oke."

"Ehem ...! Malam ini berarti kita ...."

"Iyaaa!" jawabku sambil terkekeh malu. Wajahku benar-benar merona. "See you!"

"Bye!"

"Wa 'alaikum salam."

Angga keluar dari perusahaan sebelumnya, perbankan syariah yang juga menjadi tempat kerja Akbar. Sekarang Angga bekerja di Big 4 Consultant Company, dengan gaji yang jauh lebih wow dari pekerjaan sebelumnya.

Angga dan aku berpacaran. Jadi, kami memutuskan tinggal bersama di Kosan Hamid, supaya bisa dekat juga dengan teman-teman baru kami. Tapi kami tidak tinggal di kamarku yang dulu. Kamar kami ada di lantai satu, selantai dengan Enzo. Tapi ada di lorong panjang tempat aku sempat menabrak Panpan yang setengah telanjang gara-gara seluruh bajunya dimasukkan ke laundry oleh Romi.

Nah, kamar kami ada di pojokan, ujung ke ujung dengan kamar Tino maupun Leo. Lorongnya agak gelap, tapi kamarnya luas dan sangat nyaman. Akses jendelanya tepat ke parkiran motor, sehingga kami bisa tahu siapa saja yang berlalu lalang dengan motornya ke kosan ini.

(4) Digoda Mas AnggaWhere stories live. Discover now