Dua Puluh (Bag. B)

1.9K 105 24
                                    


Hingga satu minggu menjelang pernikahan, aku tak mendapat kabar apa pun lagi dari Enzo atau siapa pun di Jakarta. Jujur, aku hampir melupakan mereka karena aku terlalu sibuk mengatur pernikahan Abi dan Jamila. Abi akhirnya mengizinkanku mengobrol bersama Jamila di Whatsapp untuk memperlancar segala urusan terkait pernikahan.

Surat undangan sudah dibagikan. Pihak dekorasi sudah dihubungi, sudah ketemu juga karangan bunga dan segala macam tetek bengek desain yang diinginkan Jamila. Fotografer sudah di-briefing terkait tata cara memotret di pernikahan ini. Makanan juga sudah fiks mau yang mana saja dan pihak katering sudah mengonfirmasi bahwa bahan-bahannya ada semua. Kain untuk seragam sudah dibagikan sejak minggu lalu. Segala urusan tentang honeymoon juga sudah selesai, Abi dan Jamila tinggal berangkat saja ke sana untuk menikmatinya. Aku harus meng-cancel petugas pembimbing umrah di sana, karena Abi merasa yakin dia bisa melakukannya secara mandiri bersama Jamila. Jadi, ya sudah, terserah mereka.

Lalu, bagaimana dengan aku?

Masih sama.

Aku tak bisa ke mana-mana tanpa didampingi Abi. Aku lebih diperlakukan sebagai istri yang salihah dibandingkan Jamila. Karena untuk pergi ke warung depan kosan saja, aku harus minta izin Abi. Aku tidak diperkenankan menggunakan pakaian yang terbuka. Semua setelanku di luar kosan adalah celana panjang dan kaus atau kemeja lengan panjang. Kalau perlu, aku mengenakan jaket bomber yang kebesaran, supaya lekukan tubuhku enggak kelihatan. Nyaris saja aku mengusulkan cadar juga sebagai candaan, tetapi Abi tidak bisa diajak bercanda akhir-akhir ini.

Aku masih menjalankan puasa setiap hari, tanpa jeda, seakan-akan ini adalah bulan Ramadan. Aku masih dirukiah setiap pagi, kadang di masjid, kadang di kosan kami, dipimpin oleh Abi. Aku harus mengaji ayat kursi berkali-kali, diawasi oleh Abi yang ikutan wirid di sampingku.

Burungku masih dikurung. Setiap hari dibuka oleh Abi agar bisa dibersihkan, tetapi setelah itu dikurung lagi. Kadang kalau Abi sedang bernafsu, burungku akan dikulumnya sampai puas. Padahal sejak awal kami pacaran, Abi hampir tak pernah melakukan itu.

Hidupku membosankan. Mengajar, mengaji, beribadah, lalu dirukiah. Aku juga tidak bisa menonton TV meski untuk mendapatkan berita terbaru. Kalau aku butuh hiburan, Abi menyetel musik-musik Timur Tengah lalu menyuruhku berbaring dan membayangkan surga.

Terpaksa aku melakukannya.

Seringnya berhasil.

Karena surga yang kubayangkan adalah Angga.

Aku membayangkan honeymoon dengan Angga ke negeri-negeri Timur Tengah, yang pemandangan di luar jendela hotel adalah padang pasir yang panas. Lalu kami akan berenang telanjang di oase. Atau menyantap kurma yang disajikan di atas puting susu Angga. Kalau fantasiku sudah mengarah ke hasrat seksual, burungku akan naik, tapi burungku terkurung. Alhasil, aku tersiksa. Burungku tak bisa mengembang sempurna.

Kali terakhir aku ejakulasi, atau mengeluarkan sperma, adalah malam sebelum aku kepergok masturbasi mengamati foto Angga. Sejak saat itu, meskipun Abi menggauliku beberapa kali, aku tak pernah kebagian ejakulasi. Abi akan langsung memasukkan burungnya ke pantatku tanpa basa-basi, menggenjotku, beberapa menit kemudian Abi sudah selesai. Tidak ada wacana apakah aku perlu orgasme juga atau tidak.

Tentu, aku pernah menanyakan, "Adek boleh keluar enggak, Bi?"

"Muncrat, maksud Adek?"

Aku mengangguk. "Iya."

"Buat apa?" sergah Abi. "Perempuan dalam hubungan tuh enggak butuh muncrat. Yang butuh itu cuma lelaki. Begitu lelaki udah keluar, urusan udah selesai."

Aku tak menyangka aku disamakan dengan perempuan. Dan aku tak menyangka Abi memandang perempuan seperti itu. Padahal dulu Abi tuh maniiisss ... sekali. Abi selalu bertanya, apakah aku mau dikeluarkan juga atau enggak?

(4) Digoda Mas AnggaWhere stories live. Discover now